Bahlil Janji Prabowo Dukung Target Bauran EBT, Dimulai Dari Biodiesel B50
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengatakan pemerintahan Presiden Indonesia terpilih Prabowo Subianto akan mendorong adanya bauran energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia.
Bahlil mengatakan, salah satu yang akan jadi fokus adalah mengenai peningkatan komposisi pencampuran bahan bakar minyak (BBM) dan bahan bakar nabati (BBN). Pemerintahan Prabowo mendorong terciptanya biodesel dengan bauran BBN sebesar 60% atau B60.
"Presiden terpilih itu bauran EBT sudah menyampaikan bahwa sekarang kita B35, B40. Ke depan menjadi B50, B60," ujarnya saat ditemui di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (18/10).
Menurutnya, pencampuran BBM dan BBN tersebut merupakan salah satu dari bauran EBT. Pasalnya, program B60 akan memperbanyak campuran crude palm oil (CPO) lebih banyak dari energi yang berasal dari fosil.
Risiko Buka Jutaan Hektare Lahan
Sebelumnya, Rektor Universitas Pertanian Bogor (IPB), Arief Satria, mengatakan pengembangan biodiesel 50% atau B50 berpotensi membuka lahan baru kelapa sawit hingga 9,2 juta hektare.
Pasalnya, pengembangan B50 menyebabkan permintaan kapasitas produksi minyak kelapa sawit mentah atau CPO menjadi tinggi sehingga membutuhkan lebih banyak bahan baku.
Biodiesel B50 merupakan campuran bahan bakar minyak (BBM) jenis solar dengan 50% bahan bakar nabati (BBN). Indonesia saat ini sudah mengimplementasikan B35 yang merupakan BBM jenis solar dengan campuran 35% minyak sawit dan fatty acid methyl ester (FAME).
"Diperkirakan pembukaan lahan baru perkebunan kelapa sawit bisa mencapai 9,2 juta hektare untuk memenuhi kebutuuan biodiesel B50," ujar Arief dalam agenda Relawan Pengusaha Muda Nasional (Repnas) bertajuk "Energi Mandiri-Ekonomi Berdikari" di Jakarta, Senin (14/10).
Arief mengatakan, pengembangan biodiesel dengan pembukaan lahan baru bisa menimbulkan hambatan dagang karena negara maju. Ini karena Eropa akan menerapkan Undang-undang anti deforestasi.
Selain itu, pengembangan biodiesel juga menghadai risiko fiskal. Risiko tersebut muncul karena pelaksanaan program biodiesel sebagian besar didanai melalui anggaran Badan Pengelola Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Dia mengatakan, pendanaan yang dimiliki oleh BPDPKS berpotensi semakin menipis karena adanya keterbatasan anggaran untuk program biodiesel dan program inti. Karena itu, diperlukan penerapan pajak karbon dan insentif dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Di sisi lain, Arief mengatakan, implementasi program biodiesel dapat menjaga keseimbangan harga CPO di pasar dunia. Dengan demikian, harga di tingkat petani bisa membaik.
Selain itu, dia mengatakan, pengurangan emisi dari penggunaan biodiesel sebagai upaya transisi energi sudah mencapai 22,48 juta ton. "Menurut saya langkah kita ini progresif, dan kita perlu memetakan lebih jauh dari potensi-potensi yang ada untuk sumber-sumber bioenergi," ujarnya.