Teknologi Rendah Karbon Akan Tingkatkan Daya Saing Industri Baja
Ringkasan
- Emisi tinggi dari teknologi BF-BOF menghambat daya saing industri baja Indonesia di pasar global, terutama karena kebijakan CBAM Uni Eropa yang mengenakan biaya pada produk impor dengan emisi karbon tinggi.
- Teknologi DRI-EAF yang menghasilkan emisi lebih rendah menjadi masa depan industri baja, namun Indonesia masih tertinggal dalam adopsi teknologi ini dibandingkan negara tetangga seperti Vietnam dan Filipina.
- Pemerintah perlu memperkenalkan peta jalan teknologi dan kebijakan yang mendorong adopsi teknologi EAF, membatasi penggunaan batubara, dan memastikan ketersediaan listrik bersih dan hemat biaya untuk mendukung transisi industri baja ke arah yang lebih ramah lingkungan.
Emisi tinggi yang dihasilkan dalam produksi baja dinilai membuat daya saing industri tersebut terhambat.
Peneliti Center for Research for Energy and Clean Air (CREA) Abdul Baits Dehana Padma Swastika mengatakan sekitar 80% industri baja di Indonesia menggunakan teknologi blast furnace (BF) dan basic oxygen furnace (BOF) yang menghasilkan emisi tinggi. Ia menyarankan agar industri baja beralih ke teknologi rendah karbon agar bisa bersaing di pasar global. Apalagi Uni Eropa akan segera memberlakukan kebijakan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM).
“Meskipun industri besi dan baja Indonesia telah muncul sebagai pemain global utama, ketergantungannya pada proses yang padat emisi, yaitu teknologi BF-BOF untuk pembuatan baja, masih menjadi penghalang bagi sektor ini untuk mengakses potensinya secara penuh,” ujar Abdul dalam keterangan tertulis, Kamis (19/12).
Abdul mengatakan, teknologi yang digunakan industri baja nasional berbanding terbalik dengan industri baja dunia yang sudah cepat beralih ke teknologi produksi baja rendah emisi, yakni teknologi Direct Reduced Iron (DRI) dan Electric Arc Furnace (EAF).
Secara global, porsi EAF dalam kapasitas baru yang direncanakan meningkat dua kali lipat dari 41% pada 2021 menjadi 92% pada 2023. Bahkan, dua negara tetangga Indonesia menunjukkan investasi EAF yang lebih tinggi, yaitu Vietnam dengan kapasitas 17,2 juta ton dan Filipina 12,8 juta ton, dibanding Indonesia yang hanya 1,7 juta ton. Teknologi DRI-EAF dianggap akan menjadi masa depan industri baja karena lebih rendah emisi.
Teknologi DRI-EAF menghasilkan emisi lebih rendah, yakni hanya 1,37 ton CO2 per ton baja dibandingkan BF-BOF yang sebesar 2,33 ton CO2 per ton baja. Oleh sebab itu, teknologi ini dapat menjawab tantangan penerapan CBAM oleh Uni Eropa mulai 2026 yang mengenakan biaya atau tarif pada produk impor dengan emisi karbon tinggi.
CREA pun mendorong pemerintah untuk memperkenalkan peta jalan teknologi dan kebijakan yang membatasi rute produksi yang bergantung pada batu bara, mendorong adopsi teknologi EAF, dan mempromosikan strategi efisiensi material di seluruh siklus hidup baja.
"Tindakan-tindakan ini akan menjadi sinyal bagi para investor untuk mengubah keputusan mereka, memposisikan industri dalam negeri memiliki daya saing, dan yang paling penting adalah menghindari risiko lock-in,” ujarnya.
Pasalnya, dengan dibangunnya proyek besi dan baja, maka kapasitas nasional akan meningkat 125% untuk pembuatan baja dan 55% untuk pembuatan besi. Dari 24,5 juta ton kapasitas pembuatan baja dalam perencanaan, 22,8 juta ton menggunakan BOF, dan hanya 1,7 juta ton yang menggunakan EAF. Sementara, dari 5,8 juta ton ekspansi pembuatan besi dalam konstruksi, semuanya menggunakan BF. Saat ini, belum ada tungku DRI yang beroperasi di Indonesia.
Selain itu, ia berharap pemerintah dapat menegakkan kebijakan perdagangan protektif yang ketat untuk memulihkan neraca perdagangan dan memastikan pasar yang adil dan kompetitif untuk industri besi dan baja. Pasalnya, pasar nasional juga masih bergantung pada impor, yang menyebabkan kurangnya utilisasi kapasitas produksi industri lokal, yakni hanya 40-90% pada 2019-2023, sementara 35-40% dari total produksi dalam negeri diekspor.
Analis CREA, Katherine Hasan, mengatakan pemerintah harus memprioritaskan reformasi sektor ketenagalistrikan untuk memastikan ketersediaan listrik bersih dan hemat biaya. Pasalnya, dekarbonisasi industri besi dan baja membutuhkan penghijauan jaringan listrik, yang menyiratkan pentingnya keberpihakan nasional terhadap percepatan pembangunan energi terbarukan. Untuk itu, Indonesia harus memulai dengan memprioritaskan reformasi ketenagalistrikan dengan memanfaatkan listrik bersih yang hemat biaya untuk mendukung transisi industri baja.
"Pembangunan infrastruktur juga harus memastikan adopsi teknologi produksi baja nol emisi. Tindakan ini akan memungkinkan besi dan baja mempertahankan statusnya sebagai pilar utama pertumbuhan ekonomi sekaligus menindaklanjuti komitmen iklim Indonesia,” ujar Katherine.
Sebelumnya, laporan Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebut industri besi dan baja menghasilkan 20-30 juta ton karbon dioksida per tahun. Jumlah itu setara dengan 4,9 persen emisi industri yang mencapai setara 430 juta ton karbon dioksida pada 2022. Saat ini, 80 persen produksi besi dan baja di Indonesia masih diproduksi dengan teknologi tanur tinggi atau blast furnace yang bahan bakarnya didominasi oleh penggunaan batubara dan kokas. Kokas adalah bahan karbon padat yang berasal dari distilasi batubara rendah abu dan rendah sulfur.