Kebutuhan Investasi Energi Hijau Naik 270 Kali Lipat
Potensi investasi hijau di Indonesia sangat besar. Berdasarkan perhitungan pemerintah, kebutuhan untuk pembiayaan untuk perubahan iklim mencapai 350 miliar dolar Amerika. Sedangkan investasi untuk energi terbarukan sekitar 13,5 miliar dolar Amerika per tahun.
Associate Director di Climate Policy Initiative Tiza Mafira mengatakan, peluang investasi hijau sangat terbuka karena energi terbarukan sebenarnya mempunyai bisnis model.
“Investasi energi hijau sekarang berkembang pesat. Contohnya adalah panel surya yang merupakan salah satu potensi energi terbarukan yang paling menjanjikan tapi jauh tertinggal. Saat ini investasi untuk panel surya hanya naik 2 persen per tahun. Padahal kebutuhan investasi untuk panel surya naik 270 kali lipat dibandingkan investasi saat ini,” kata Tiza dalam webinar The Road to COP26 yang digelar Katadata dan Landscape Indonesia, Jumat (22/10/2021).
Tiza menambahkan, harga teknologi energi terbarukan turun secara konsisten. DI dunia, saat ini teknologi panel surya sudah lebih murah dibandingkan teknologi untuk batubara.
“Tapi hal ini tidak terjadi di Indonesia. Karena ada market barrier yang membuat panel surya kalah bersaing dengan batubara. PLN masih mendapat subsidi untuk batubara sehingga harga batubara jadi tidak terlalu mahal. Ini yang membuat adanya fake price terhadap harga batubara. Harusnya subsidi untuk batubara mulai dikurangi,” jelas Tiza.
Secara global, nilai investasi hijau memang menunjukkan tren kenaikan. Hingga kuartal kedua 2021 lalu, total ada lebih dari US$2,2 triliun dana berkelanjutan global. Namun angka itu masih jauh dari cukup. Menurut laporan World Economic Forum bersama UNEP, total nilai investasi hijau (pemerintah dan swasta) tahun lalu mencapai US$133 miliar, di mana 86 persen berasal pemerintah dan 14 persen bersumber dari investasi swasta.
Untuk membelokkan lintasan kerusakan lingkungan saat ini, WEF dan UNEP menghitung, sedikitnya butuh tiga kali lipat dari total investasi hijau saat ini pada 2030 nanti. Menurut perhitungan Bappenas, Indonesia membutuhkan pembiayaan/ investasi di sektor berkelanjutan hingga 2030 sebesar Rp67.803 triliun atau rata-rata Rp678 triliun per tahun.
Associate Profesor di Universitas Gadjah Mada Poppy Ismalina menambahkan, pembiayaan untuk proyek hijau tidak melulu harus mengandalkan APBN dan APBD. Menurut Poppy, dukungan pendanaan pembiayaan untuk proyek hijau bisa dari sektor jasa keuangan.
“OJK lewat POJK no 51 sejak 2015 sudah membuat peta jalan keuangan hijau dan mulai membangun ekosistem keuangan berkelanjutan. Sumber pendanaan yang abadi justru ada di sektor jasa keuangan. Kita punya 1.879 bank umum dan kredit dan total dana pihak ketiga naik menjadi Rp6.539 triliun, belum lagi pasar modal,” jelas Poppy.
Impact Investment Lead, ANGIN Benedikta Atika mengatakan, investor sebenarnya berharap sebuah support system sebelum menginvestasikan uangnya untuk ekonomi hijau di Indonesia.
“Saat ini sepertinya ada kesenjangan pengetahuan tentang sektor apa saja yang bisa ditawarkan ke investor untuk proyek hijau dan juga daerah mana. Salah satu yang krusial adalah bagaimana investor mmau masuk ke sektor yang selama ini sulit misalnya kehutanan. Karena itu perlu support system bagaimana skema yang paling visible agar investor menjadi lebih tertarik untuk berinvestasi,” jelas Atika.