Bangunan Bersertifikat Hijau Masih Minim, Butuh Dukungan Insentif
Catatan International Finance Corporation dan Green Building Council Indonesia menunjukkan, per Maret 2025, baru ada 358 bangunan yang bersertifikasi hijau di Indonesia. Dari jumlah tersebut, total luasannya sekitar 10 juta meter persegi.
Bangunan bersertifikasi hijau merupakan bangunan yang ramah lingkungan yang menggunakan material berkelanjutan, beroperasi secara hemat energi, serta memanfaatkan sumber daya seperti air dan udara dengan efisien. Jenis bangunan yang paling banyak bersertifikat hijau adalah perkantoran, dengan 235 proyek. Disusul retail dengan 28 proyek dan fasilitas pendidikan 26 proyek.
Menurut Indonesia’s Country Director Global Buildings Performance Network (GBPN) Farida Lasida Adji, pengembangan bangunan hijau dibutuhkan dalam momen transisi ke ekonomi rendah karbon di Indonesia. Sebab, ketika bangunan dalam proses konstruksi maupun beroperasi, kontribusinya cukup besar untuk menghasilkan emisi karbon.
Pemerintah telah mendorong agenda ini salah satunya melalui Peta Jalan Penyelenggaraan dan Pembinaan Gedung Hijau Indonesia. Peta jalan disusun Kementerian Pekerjaan Umum (sebelumnya Kementerian PUPR), Kementerian ESDM, dan Kementerian Dalam Negeri.
Peta jalan dijadikan tindak lanjut pemerintah untuk mencapai target penurunan emisi karbon nasional, menuju net zero emission 2060 mendatang. Itu sekaligus selaras dengan UU 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045 untuk mewujudkan pembangunan rendah karbon di Indonesia.
Namun, menurutnya, pengembangan bangunan hijau ini masih menjumpai tantangan di lapangan. Regulasi yang sudah terbentuk belum dibarengi dorongan investasi yang memadai.
“Investasi untuk bangunan hijau masih jauh juga dari skala yang dibutuhkan,” kata Ida, dalam diskusi ‘Multistakeholder Forum on Cost-Efficient Green Buildings and Feasible Financing Schemes’ di Jakarta, Selasa (9/12).
Ida mengakui, investasi atau pembiayaan untuk bangunan hijau ini tidak bisa hanya mengandalkan anggaran pemerintah. Di mana climate budget tagging-nya bahkan tidak melebihi 5% total anggaran nasional. Sektor swasta harus berpartisipasi.
“Tapi, menutup kesenjangan ini bukan hanya soal ketersediaan modal, melainkan soal memperkuat sistem yang mengarahkan aliran investasi,” jelas Ida.
Kerangka kebijakan dinilai belum selaras dan masih ada fragmentasi kebijakan yang mengurangi efektivitas implementasi pembangunan. Penegakan kebijakan juga kurang konsisten, sehingga meragukan investor.
Dari sisi supply, lembaga keuangan dan pemerintah daerah kesulitan menemukan proyek yang bankable. Di sisi lain dari aspek demand, pemilik proyek justru kesulitan mengakses produk pembiayaan hijau yang terjangkau dan sesuai kebutuhan.
Pengembang Harapkan Insentif
Jakarta Property Institute, lembaga non profit yang beranggotakan pengembang gedung tinggi, saat ini tengah memulai inisiatif bangunan berkelanjutan. Namun, inisiatif ini dinilai belum didukung oleh pemerintah daerah.
“Biaya di awal besar, kalau bentuk insentif dari pemerintah daerah misalnya berupa tier penghematan yang bisa dicapai tiap tahunnya sekian persen, saya yakin pengembang akan memperhitungkan,” kata Direktur Eksekutif Jakarta Property Institute, Wendy Haryanto.
Ia berekspektasi insentif ini misalnya berupa potongan pajak bumi dan bangunan (PBB). Hal serupa disampaikan Pengurus Badan Kajian Strategis DPP Realestate Indonesia (REI), Rama Devy Simbolon. Menurutnya, sertifikat bangunan hijau ini sudah lama ada, namun tidak banyak diikuti oleh pengembang.
“Apabila sertifikat yang diterima para pengembang bisa menghasilkan insentif yang aplikatif, misalnya free tax income atau sejenisnya, itu akan sangat menarik,” tuturnya.
Sementara, ada biaya tambahan untuk mendapatkan predikat bangunan hijau, salah satunya biaya sertifikasi. Organization Secretary Green Building Council Indonesia Iparman Oesman, berharap insentif yang diberikan pada pengembang bisa menutup biaya tambahan tersebut.
