Radio, Sepeda, dan Pasar Papringan: Bambu-Bambu Singgih Susilo Kartono
Bermula dari penyakit kolesterol yang dia derita, Singgih Susilo Kartono mencoba memulai bersepeda. Namun tidak sampai di situ, dia pun berinovasi membuat sepeda berbahan baku bambu sejak 2013. Hampir satu dekade berlalu, kini sepeda bambu bernama Spedagi berhasil unjuk gigi dalam KTT G20.
Kriya Berbahan Kayu
Lelaki asal Desa Kandangan, Temanggung, Jawa Tengah, lahir pada 1 April 1968. Sebelum sukses dengan Spedagi, Singgih pertama kali dikenal sebagai desainer radio kayu berlabel Magno yang pertama kali diproduksi pada 1994.
Radio ini awalnya adalah purwarupa dari tugas akhirnya semasa kuliah di jurusan desain produk Institut Teknologi Bandung. Radio Magno menggunakan tiga jenis kayu, yaitu pinus, mahoni, dan sonokeling. Ketiga bahan ini dinilai memiliki mencapai resonansi suara yang baik.
Berkat tampilannya yang unik, Magno Wooden Radio berhasil menembus pasar internasional. Empat belas tahun kemudian, tepatnya pada 2008, Magno Wooden Radio menjadi salah satu produk pilihan versi majalah TIME.
Sementara itu, ide awal Spedagi sebetulnya datang dari sepeda bambu karya Craig Calfee dari Amerika Serikat. Menurut Singgih, penggunaan bambu untuk sepeda sebenarnya sudah digunakan sejak abad 19. Namun, bahan logam lebih populer karena lebih mudah diproduksi.
Penggunaan bambu untuk sepeda kembali muncul bersamaan dengan green movement di belahan dunia. Singgih pun melihat potensi Temanggung, kampung halamannya, yang kaya akan bambu.
Di kampung halamannya tersebut, Singgih mulai merancang dan memproduksi Spedagi pada 2013. Tak hanya itu, dia juga melibatkan perajin lokal untuk memproduksi sepeda yang didesainnya.
Menurut Singgih, bambu memiliki beberapa karakter yang berbeda dengan logam. Perbedaan utamanya adalah bambu termasuk kategori material alam yang terbarukan, tidak seperti logam. Bambu bisa tumbuh dengan cepat dan dipanen pada usia 3,5 tahun. Selain itu, bambu dapat menyerap suspensi dengan baik.
“Serat bambu yang sejajar memanjang, menjadikan material ini lentur sekaligus kuat. Hasil riset para ahli menunjukkan bambu memiliki kekuatan tarik yang lebih tinggi dari baja,” tulis Singgih dalam penjelasannya pada G20 lalu.
Alasan lingkungan pula yang membuat Spedagi tidak diekspor agar tidak menambah emisi gas dari pesawat. Meski begitu, Spedagi berhasil dikenal dunia setelah menyabet Gold Award pada Good Design Award di Tokyo, 2018. Dengan penghargaan ini, Spedagi diakui sebagai salah satu desain paling berpengaruh di dunia.
Memberdayakan Masyarakat
Seiring dengan upaya pemberdayaan Desa Kandangan melalui Spedagi, Singgih pun memulai proyek pengembangan Pasar Papringan atau Pasar Bambu. Upaya ini dia mulai setahun setelah mengembangkan Spedagi, yaitu pada 2014.
Pasar yang berada di desa Ngadiprono, Temanggung ini muncul karena Singgih melihat lokasi yang bertumpuk sampah di bawah pepohonan bambu yang rindang. Bersama rekan-rekannya, Singgih kemudian melakukan pemetaan sosial. Mereka ingin Pasar Papringan menjadi wadah pergerakan sosial untuk pemberdayaan ekonomi.
“Karena bahan bakunya, bambu, sedang mengalami hal yang sama di desa: degradasi tingkat percaya diri. Orang kerap ragu akan kekuatan dan keawetan bambu, sama seperti ragu akan kekuatan desa,” kata Singgih.
Kini, masyarakat sekitar sudah meramaikan pasar tersebut dengan menjajakan makanan, hasil pertanian, hingga kerajinan tradisional. Hal unik dari pasar ini juga adalah alat transaksi yang digunakan, yakni bambu kecil bernama pring. Tiga keping pring senilai dengan Rp2.000 dan pengunjung Pasar Papringan harus menukarkan uang kartalnya untuk membeli apapun di Pasar Papringan.