Mengenal Abdoel Rivai, Dokter yang Menjadi Perintis Pers Indonesia
Dunia pers Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Ada beberapa nama tokoh perintis kewartawanan nasional yang cukup dikenal, misalnya B.M Diah, Roehana Koeddoes, Sayuti Melik, dan S.K. Trimurti.
Namun, ada satu nama yang mungkin luput dari perhatian banyak orang, yang ternyata memiliki andil yang cukup besar bagi pergerakan pers nasional. Pribadi yang dimaksud, adalah dr. Abdoel Rivai.
Dalam suasana Hari Pers Nasional, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengangkat nama Abdoel Rivai, sebagai seorang dokter, sekaligus jurnalis. Ketua Umum Pengurus Besar IDI dr Moh. Adib Khumaidi, SpOT mengungkapkan, pemikiran Abdoel Rivai lah yang menginspirasi dr. Wahidin Sudirohusodo membentuk organisasi Boedi Oetomo.
Menarik untuk menelaah mengenai sosok Abdoel Rivai, mengenai pendidikan, serta sepak terjangnya sebagai seorang jurnalis. Berikut ulasan selengkapnya.
Masa Kecil dan Pendidikan Abdoel Rivai
Abdoel Rivai lahir di Agam, Sumatra Barat pada 13 Agustus 1871 dari pasangan Abdul Karim dan Siti Kemala Ria. Ia tergolong anak yang cerdas, di mana pada usia 15 tahun ia berhasil diterima di School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA), sekolah kedokteran di Hindia Belanda.
Ia lulus sekolah kedokteran pada 1894 dan menjadi dokter pemerintahan kolonial di wilayah Deli, Sumatra Utara. Setelah itu, pada 1899 ia mencoba melanjutkan studi kedokteran di Utrecht dan University of Amsterdam.
Namun, ia tidak mendapatkan izin dari Gubernur Jendral Hindia Belanda saat itu, yakni Willem Rooseboom. Baru pada 1904 ia bisa melanjutkan studi kedokteran di Belanda.
Abdoel Rivai merupakan kalangan bumiputra pertama yang bersekolah kedokteran di Belanda. Ia berhasil menyelesaikan studinya pada 1907, dan kemudian melanjutkan pendidikan doktoral di Universitas Gent, Belgia. Ia lulus studi doktoral hanya dalam waktu satu tahun, dan tercatat sebagai orang bumiputra pertama yang mendapatkan gelar doktor di Eropa.
Di Belanda ini lah Abdoel Rivai berkenalan dan berkecimpung dalam satu dunia yang berbeda dengan studinya. Dunia yang dimaksud, adalah jurnalistik.
Perkenalan Abdoel Rivai dengan Dunia Jurnalistik
Mengutip National Geographic, persinggungan Abdoel Rivai dengan dunia jurnalistik bermula dari aktivitas menulis selama menunggu izin masuk sekolah kedokteran di Amsterdam. Di Belanda, ia cukup rajin menulis untuk surat kabar atau koran, seperti Algemeen Handelsblad dan Oost en West.
Kendati menulis untuk koran Belanda, ia tergolong sebagai pribadi yang menjunjung bahasa Melayu, dan perlunya mengedukasi orang Eropa mengenai masyarakat Hindia Belanda.
Dari pemikiran tersebut, ia kemudian mendirikan surat kabar bernama Pewarta Wolanda pada 14 Juli 1900. Ini merupakan surat kabar pertama yang dimiliki oleh kalangan bumiputra yang diterbitkan di luar negeri.
Pewarta Wolanda secara teratur menerbitkan tulisan-tulisan yang mengedukasi masyarakat Eropa, tentang sebuah koloni di timur jauh bernama Hindia Belanda.
Lewat surat kabar ini, ia menyebarkan pengetahuan di Belanda tentang apa saja yang ada di Hindia Belanda, serta mempromosikan budaya dan sifat penduduk Hindia Belanda yang ramah. Pewarta Wolanda kemudian mengalami kesulitan operasional pada 1901, karena masalah kekurangan dana.
Untuk tetap menghidupkan gagasannya, ia menggabungkan Pewarta Holanda dengan Surat Chabar Soldadoe, media yang didirikan oleh mantan perwira Koninklijk Nederlands(ch)-Indisch Leger (KNIL), H.C.C Clockener Brousson. Hasil dari penggabungan tersebut, adalah surat kabar bernama Bendera Wolanda.
Selain Bendera Wolanda, ia dan Brousson juga membuat surat kabar bernama Bendera Hindia pada 1902. Melalui surat kabar ini, ia banyak menulis gagasan seputar cara memajukan masyarakat bumiputra Hindia Belanda. Ia juga menulis sejumlah artikel tentang nasihat dan cara untuk menempuh pendidikan di Belanda.
Abdoel Rivai juga mengenalkan istilah-istilah baru seperti "kaoem moeda" dan "bangsawan fikiran". Dua istilah ini ia gunakan untuk menjelaskan pentingnya ilmu dan kepandaian bagi kalangan bumiputra agar bisa mengejar kemajuan layaknya orang Eropa.
Bintang Hindia menjadi salah satu surat kabar pertama yang menitikberatkan penggunaan foto. Koran ini diketahui banyak memuat foto-foto mengenai keindahan alam Hindia Belanda, lengkap dengan kemajuan masyarakat di negeri koloni tersebut.
Pada 1907 Abdoel Rivai memutuskan untuk keluar dari Bintang Hindia, untuk menyelesaikan studi kedokterannya, serta mengikuti ujian doktoral di Belgia. Meski demikian, ia masih cukup aktif dalam dunia jurnalistik, dengan menjadi kontributor untuk Kolonial Weekblad dan Algemeen Handelsblad.
Usai menyelesaikan studi, Abdoel Rivai pulang ke Hindia Belanda pada 1910 dan menetap di Batavia. Ia kemudian bekerja sebagai editor di Bintang Timur. Di Batavia, Abdoel Rivai tetap aktif menulis mengenai pentingnya pendidikan, serta kesetaraan hak kaum bumiputra dan orang-orang Eropa yang ada di Hindia Belanda.
Atas aktivitasnya ini, ia kemudian terpilih menjadi anggota dewan perwakilan rakyat Hindia Belanda, atau Volksraad. Ia menjadi anggota sejak 1918 hingga 1925. Usai mengemban tugas sebagai anggota Volksraad, ia sempat berkelana ke berbagai negara selama beberapa tahun, hingga kemudian menetap di Belanda.
Mengutip Tirto, di Belanda ia menjadi mentor bagi pemuda Indonesia yang menempuh studi di sana, seperti Mohammad Hatta, Ali Sastroamidjojo, Abdoelmadjid Djajadiningrat, Nazir Datoek Pamoentjak, dan lainnya.
Pada 1932, ia kembali ke tanah air dan membuka klinik pengobatan di Tanah Abang, Batavia, sembari terus menulis untuk sejumlah surat kabar. Namun karena masalah kesehatan, Abdoel Rivai kemudian pindah ke Bandung hingga wafat pada 16 Oktober 1937.
Atas jasa dalam dunia jurnalistik, pada 1974 Pemerintah Republik Indonesia (RI) memberikan gelar Perintis Pers kepada Abdoel Rivai.