Angka TBC Tertinggi Kedua, Pemerintah Fokus Penanganan di Tempat Kerja
Dalam peringatan TBC sedunia yang jatuh setiap 24 Maret, Indonesia 'merayakan' sebagai penyumbang jumlah pengidap penyakit tuberkulosis (TBC) kedua terbanyak di dunia dengan estimasi jumlah kasus baru sebesar 969 ribu kasus dan 144 ribu kematian dalam satu tahun. Berdasarkan Global TB Report 2022 yang dirilis oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO), jumlah kasus TBC terbanyak pada kelompok usia 25 sampai 34 tahun.
Di Indonesia jumlah kasus TBC terbanyak yaitu pada kelompok usia produktif terutama pada usia 45 sampai 54 tahun. Usia tersebut merupakan usia produktif kerja. Sebab itu, pemerintah memfokuskan pengendalian TBC bagi pekerja melalui Permenkes nomor 67 tahun 2016 tentang Penanggulangan TBC dan Permenaker nomor 13 tahun 2002 tentang Penanggulangan TBC di Tempat Kerja.
Profil Kasus TBC di Indonesia
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi mengatakan jumlah kasus TBC sensitif obat berdasarkan jenis pekerjaan tahun 2022 paling banyak diidap oleh buruh dengan jumlah 54.800 orang. Profesi petani dan wiraswasta menempati posisi selanjutnya dengan jumlah berturut-turut 51.900 kasus dan 44.200 kasus.
Sementara itu, untuk kasus TBC resisten obat berdasarkan jenis pekerjaan pada 2022 terbanyak ditemukan pada pasien berprofesi wiraswasta dengan jumlah 751 orang, buruh 635 orang, dan pegawai swasta BUMN atau BUMD berjumlah 564 orang.
Ia menyampaikan angka keberhasilan pengobatan TBC sensitif obat di Indonesia pada 2022 sebanyak 85%. Penyumbang terbanyak angka keberhasilan ini adalah pasien dengan profesi sebagai tenaga profesional medis, disusul oleh tenaga profesional non medis 78%, dan PNS sebanyak 73%, kemudian disusul oleh profesi lainnya.
Sementara itu, angka keberhasilan pengobatan TBC resisten obat di Indonesia pada 2022 berada di angka 55%. Sama seperti profil keberhasilan pasien resisten obat sebelumnya, penyumbang keberhasilan tertinggi pada kasus TBC resisten obat adalah pasien dengan latar belakang tenaga profesional medis, yang menyumbang angka 75%.
Keberhasilan ini diikuti oleh pasien berlatar belakang profesi tenaga profesional non medis sebesar 67%, dan pasien berprofesi pengajar atau dosen sebesar 66%. "Edukasi sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan TBC," kata dia dalam konferensi pers hari TBC Sedunia, Jumat (17/3).
WHO dalam Global Report yang dirilis pada (27/10/2022) itu menyebutkan Indonesia sebagai salah satu dari tiga negara yang menyumbang pengurangan kasus terbesar pada 2020. Ketiga negara itu adalah India, Indonesia, Filipina, dengan jumlah pengurangan kasus ketiganya mencapai 67% dari jumlah pengurangan global.
Meski begitu, Indonesia menjadi salah satu negara dengan beban terbesar yang disebabkan tingginya angka penderita TBC, menyumbang 9,2% dari angka pasien TBC global. Selain itu, jumlah pasien TBC yang terkait dengan HIV dan pasien TBC yang mengalami resistensi obat atau multidrug resistant (TB MDR) juga tergolong tinggi.
Dalam wilayah saling bertumpang-tindih beban ini, Indonesia berada satu area dengan Cina, India, Myanmar, Filipina, Afrika Selatan, Zambia, Nigeria, Mozambik, dan Republik Demokratis Kongo. Ethiopia dan Kenya yang sebelumnya dikategorikan berada di wilayah ini, sudah berhasil keluar dari 30 teratas negara dengan beban overlap tertinggi, dan digantikan posisinya oleh Mongolia, Nepal, dan Zambia.
Penanganan TBC di Indonesia
Tingginya kasus TBC yang resisten obat menyebabkan Indonesia harus bekerja ekstra keras untuk menjaga tingkat keberhasilan pengobatan. "Kalau TB sensitif obat, minimal enam bulan, sementara untuk resisten obat minimal satu tahun," kata Imran.
Berdasarkan data kependudukan BPS 2022 lebih dari 80% pekerja informal tidak mendapatkan akses ke fasilitas kesehatan. Menurut Imran, minimnya akses ke fasilitas kesehatan merupakan salah satu tantangan untuk mengatasi tuberkulosis.
Selain itu, berdasarkan data yang menunjukkan tingginya kasus di antara pekerja produktif, membuat pemerintah fokus pada pencegahan TBC yang dimulai dari tempat kerja. Menurut Imran, ini telah sesuai dengan Strategi Nasional Eliminasi TBC yang tertuang pada Perpres nomor 67 tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis, ada sejumlah strategi untuk mengatasi TBC di Indonesia.
Strategi yang termaktub di antaranya adalah peningkatan akses layanan TBC, optimalisasi upaya promosi dan pencegahan TBC, pengobatan TBC dan pengendalian infeksi, hingga pemanfaatan hasil riset dan teknologi terkait dengan penanganan TBC. Selain itu, pemerintah secara spesifik menyusun Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2022 tentang Penanggulangan Tuberkulosis di Tempat Kerja.
Peraturan ini menyasar pengusaha dan pengurus perusahaan, dokter perusahaan, pekerja atau buruh, dan bagi pengawas ketenagakerjaan untuk melakukan pengawasan pelaksanaan penanggulangan tuberkulosis di tempat kerja. Perwakilan dari Direktorat Bina Pengujian Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan, Maptuha, mengatakan sosialisasi pencegahan pengendalian kasus TBC serta strategi DOTS di tempat kerja dilakukan di 5 wilayah yaitu Banten, Nusa Tenggara Barat, DKI Jakarta, Kalimantan Timur, dan Jawa Tengah.
Merokok Tingkatkan Risiko TBC
Guru Besar dalam Bidang Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Agus Dwi Sutanto mengatakan TBC dapat menyerang hampir semua organ tubuh manusia. Tetapi yang paling sering adalah paru-paru.
Ia mengatakan merokok dapat meningkatkan risiko infeksi TBC dan memperburuk perjalanan penyakitnya. Padahal, menurut Kementerian Kesehatan dalam Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021, jumlah perokok dewasa Indonesia tercatat sejumlah 69,1 juta perokok aktif.
Hasil survei itu juga mengungkapkan prevalensi perokok elektronik yang naik mencapai 10 kali lipat, dari 0,3% pada 2011 menjadi 3% pada 2021. Sementara itu, prevalensi perokok pasif meningkat menjadi 120 juta orang. Kedua golongan itu termasuk dalam golongan yang juga berisiko mengalami infeksi TBC.
Adapun beberapa kondisi lain yang dapat meningkatkan risiko infeksi TBC adalah penyakit yang memperburuk imunitas tubuh seperti HIV/ AIDS, diabetes, gangguan gizi, gagal ginjal, alkohol, perokok. "Pekerja juga mendapatkan risiko lain dari pajanan bahan di tempat kerja yang menyebabkan kondisi dan daya tahan tubuh di paru-paru menurun, contohnya seperti silika dan bahan-bahan toxic lainnya," kata Dwi.
Ia menjelaskan bahan-bahan itu dapat merusak sistem pertahanan paru-paru jika terhirup dan terpapar dalam waktu lama. "Akibatnya paru-paru lebih rentan terinfeksi," kata dia. Faktor risiko di tempat kerja lainnya, menurut dia, adalah ventilasi di tempat kerja yang kurang baik, pencegahan infeksi di tempat kerja yang tidak berjalan, dan APD yang tidak digunakan optimal.
Adapun gejala seseorang terinfeksi TBC adalah batuk-batuk berdahak, batuk berdarah, sesak napas, lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, berkeringat malam hari, dan demam meriang. "'Tujuan pengobatan TBC adalah untuk menyembuhkan supaya tidak menular kepada orang lain, produktivitas dan kualitas hidupnya menjadi lebih bagus, terutama bagi pekerja,'' kata dia.