Sejarah PT Bakrie & Brothers, Perusahaan Tertua Milik Keluarga Bakrie
PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR) mencatatkan kinerja keuangan yang positif sepanjang 2022. Dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) yang digelar pada Jumat (16/6), manajemen perusahaan mengumumkan perolehan pendapatan bersih sebesar Rp 3,62 triliun sepanjang 2022.
Jumlah ini meningkat 51,52% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp 2,39 triliun. Selain itu, perusahaan berhasil membukukan laba usaha sebesar Rp 231,9 miliar sepanjang 2022. Meningkat drastis jika dibandingkan tahun sebelumnya yang mencatatkan laba usaha sebesar Rp 20,7 miliar.
CEO BNBR Anindya Novyan Bakrie mengatakan kenaikan pendapatan bersih dan laba perusahaan merupakan dampak dari peningkatan kinerja usaha sepanjang 2022. "Kinerja ini diharapkan akan terus berlanjut seiring dengan bergulirnya sejumlah proyek yang tengah dikerjakan," kata dia Jumat (16/6).
Kinerja positif itu terlihat dari kenaikan pendapatan pada kuartal I 2023 dengan capaian sebesar Rp 835,36 miliar. Jumlah ini meningkat dari periode sama tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp 566,24 miliar.
Fondasi Bisnis Keluarga Bakrie yang Dibangun Achmad Bakrie
PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR) didirikan oleh Achmad Bakrie pada 10 Februari 1942 yang saat itu baru berusia 25 tahun. Pria kelahiran 1 Juni 1916 itu dikenal memiliki bakat dan keuletan berdagang.
Saat masih menyelesaikan sekolah dasar di sekolah elite khusus pribumi bernama Hollandsch Inlandsche School (HIS) yang berlokasi di Menggala, sebuah wilayah di Lampung Utara, ia kerap menjajakan roti.
Menurut situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Menggala kala itu merupakan pusat pendidikan dan perdagangan. HIS di Menggala merupakan satu-satunya sekolah tingkat dasar untuk pribumi (bumiputera) yang tersedia saat itu.
Achmad Bakrie juga tercatat pernah mengenyam pendidikan di Handels Instituut Schoevers, Jakarta.
Meski disibukkan dengan aktivitas sekolah, masa remaja Achmad Bakrie kerap dihabiskan untuk mengumpulkan karet, lada, kopi, cokelat, dan berbagai hasil bumi lainnya yang diproduksi di perkebunan sekitar Kalianda, kampung kelahirannya di Lampung Selatan.
Mengutip situs Freedom Institute, ayah kandung Aburizal Bakrie itu menekuni aktivitas berdagang hasil bumi tersebut hingga pada usia 20 tahun, ia sudah dikenal sebagai pedagang perantara untuk komoditas karet, kopi, dan lada. Aktivitas itu membuat ia berkeliling menjelajahi hampir seluruh pelosok Sumatera Bagian Selatan yang mencakup Lampung, Sumatera Selatan hingga Jambi.
Usai menamatkan sekolah, dengan berbekal ijazah sekolah, ia bekerja di Kantor Kontrolir Lampung Tengah di Sukadana selama beberapa saat. Kemudian ia berpindah kerja ke perusahaan swasta yang dikelola Belanda bernama NV Van Gorkom yang berada di Bandar Lampung.
Achmad Bakrie belajar langsung mengendalikan usaha dagang secara profesional di perusahaan tersebut selama dua tahun. Pada 1941, Bakrie meninggalkan Van Gorkom karena merasa telah memiliki cukup pengalaman sebagai pegawai.
Ia kembali menekuni bisnis dagang hasil bumi dengan mempraktikkan ilmu dagang yang dimiliki dari bangku sekolah dan dari pengalaman sebagai karyawan. Dari situ, ia mengumpulkan modal untuk membangun perusahaan kecil.
Setahun berdagang hasil bumi, ia mendirikan CV Bakrie & Brothers General Merchant and Commission Agent di Teluk Betung, Lampung, pada 10 Februari 1942. Namun, nama Bakrie & Brothers dilarang digunakan oleh Jepang karena berbau Barat.
Tekanan itu membuat Bakrie memindahkan perusahaannya ke Jakarta pada 1943 dan melanjutkan usaha dengan nama Jasuma Shokai. Setelah Jepang hengkang dari Bumi Pertiwi, ia kembali menggunakan nama Bakrie & Brothers.
Bergeliat setelah Jepang Hengkang
Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II dan meninggalkan Indonesia, usaha dagang Bakrie melesat. Berbagai keputusan penting ia buat.
Tak hanya memutuskan kembali menggunakan nama Bakrie & Brothers, ia mulai mencicipi bisnis ekspor hasil bumi berupa karet, lada, dan kopi ke Singapura pada 1952. Ia menjadi salah satu pionir eksportir dari kalangan pribumi pada saat itu.
Bakrie meluaskan usahanya pada 1957 dengan membeli sebuah pabrik kawat dan mendirikan pabrik pipa baja, pabrik cor logam, dan pabrik karet. Selain itu, di bawah NV Bakrie & Brothers ia meluaskan usaha dengan membangun pabrik beras di berbagai wilayah di Lampung.
Hingga kini NV Bakrie & Brothers berubah menjadi PT Bakrie & Brothers dan memiliki berbagai anak usaha.
Melantai di Bursa Efek sejak 1989
Mengutip situs resmi perusahaan, Bakrie & Brothers mulai melantai di bursa pada 28 Agustus 1989. Sejak itu, perusahaan yang dibangun oleh Achmad Bakrie tersebut resmi menjadi perusahaan publik.
Ekspansi perusahaan setelah menjadi perusahaan publik semakin kencang dengan mengakuisisi PT Bakrie Sumatera Plantation yang bergerak di bidang perkebunan, serta tiga perusahaan lain yang bergerak di bidang pertambangan yaitu PT Arutmin, PT Kaltim Prima Coal dan PT Bumi Resource.
Ekspansi tersebut dilakukan di periode 1990-2005. Di periode yang sama, menurut situs resmi perusahaan, lahir anak usaha baru yaitu PT Bakrieland Development yang bergerak di bidang properti dan PT Energi Mega Persada yang bergerak di bidang minyak bumi dan gas.
Meski bergelimang kisah sukses, perusahaan ini berkali-kali dibelit persoalan. Mulai dari badai kebangkrutan bisnis di sektor pertambangan, hingga persoalan lumpur Lapindo yang tak kunjung usai.
Sampai saat ini disebutkan Bakrie masing menunggak utang kepada negara sebesar Rp 2 triliun yang berasal dari pinjaman Dana Antisipasi Penanganan Luapan Lumpur Lapindo Sidoardjo oleh Lapindo Brantas Inc dan PT Minarak Lapindo Jaya.