Tak Hanya Richard Eliezer, Ini Deret Vonis Ringan Justice Collaborator

Image title
16 Februari 2023, 18:08
justice collaborator, richard eliezer
ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/hp.
Ilustrasi, terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua Hutabarat, Richard Eliezer alias Bharada E dalam sidang putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Rabu (15/2/2023). Richard Eliezer dihukum pidana 1 tahun 6 bulan. Vonis yang lebih ringan dari tuntutan jaksa diberikan, karena majelis hakim mempertimbangkan status justice collaborator.

Richard Eliezer atau Bharada E divonis 1 tahun dan 6 bulan penjara dalam perkara pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. Vonis dibacakan hakim dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (15/2).

Bharada E terbukti secara sah dan kuat turut serta dalam pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. Namun, vonis yang dijatuhkan hakim jauh lebih ringan dibandingkan tuntutan Jaksa, yakni 12 tahun penjara.

Vonis yang jauh lebih ringan diberikan kepada Bharada E, karena hakim menilai ada beberapa hal yang meringankan. Salah satunya, adalah hakim mempertimbangkan posisi Richard Eliezer sebagai saksi pelaku atau justice collaborator.

Apa sebenarnya justice collaborator, dan ada berapa banyak kasus di mana memperingan hukuman terdakwa yang berstatus sebagai saksi pelaku? Simak ulasan berikut ini.

Pengertian Saksi Pelaku atau Justice Collaborator

Mengutip lk2fhui.law.ui.ac.id, justice collaborator adalah sebutan bagi pelaku kejahatan yang bekerjasama dalam memberikan keterangan dan bantuan bagi penegak hukum.

Atas tindakan sebagai saksi pelaku tersebut, seorang terdakwa dapat menerima penghargaan, yakni penjatuhan pidana percobaan bersyarat khusus, pemberian remisi dan asimilasi.

Penghargaan lain yang didapat seorang justice collaborator, adalah pembebasan bersyarat, penjatuhan pidana paling ringan di antara terdakwa lain yang terbukti bersalah, perlakukan khusus dan lain sebagainya.

Pemberian penghargaan terhadap justice collaborator, tertuang dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Aturan tersebut, berbunyi "Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana".

Hal ini juga ditegaskan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2011 tentang Perlakukan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator).

Salah satu isi surat edaran ini, adalah pedoman untuk menentukan seseorang sebagai justice collaborator. Pedoman yang dimaksud, antara lain sebagai berikut.

  • Merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu, yang mengakui kejahatan yang telah dilakukannya.
  • Bukan pelaku utama dalam kejahatan yang tersebut.
  • Memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.

Selain itu, seseorang diperlakukan sebagai justice collaborator apabila jaksa di dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkuan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang signifikan.

Keterangan dan/atau bukti yang diberikan tersebut, berperan signifikan bagi penyidik untuk mengungkap tindak pidana secara efektif mengungkap pelaku-pelaku lainnya.

Deret Vonis Ringan untuk Justice Collaborator

Dalam peradilan Indonesia, pemberian penghargaan berupa vonis ringan atau putusan ringan lainnya, tak hanya diberikan pada Richard Eliezer.

Tercatat ada sejumlah kasus besar, di mana terdakwa mendapatkan penghargaan karena statusnya sebagai justice collaborator. Adapun, beberapa kasus yang dimaksud, antara lain sebagai berikut.

1. Kasus Suap Pemilihan Deputi Gubernur Senior BI (Agus Condro Prayitno)

Kasus suap ini menyeret nama Miranda Goeltom, yang didakwa menyuap 26 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 1999-2004 dalam pemilihannya sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI).

Perkara ini yang menjerat lebih dari 26 anggota DPR periode 1999-2004 tersebut, terbongkar berdasarkan informasi dari Agus Condro Prayitno. Ia merupakan salah satu anggota DPR yang menerima cek lawat atau traveller's cheque, untuk meloloskan Miranda dalam fit and proper test.

Ia melaporkan penerimaan cek senilai Rp 500 juta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan telah ia serahkan ke lembaga anti korupsi tersebut. Dalam kasus ini, sejumlah pelaku telah divonis bersalah termasuk Miranda, yang dihukum tiga tahun penjara.

Meski demikian, proses peradilan terhadap Agus tetap berjalan, di mana. Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis bersalah dan hukuman penjara selama satu tahun tiga bulan pada 16 Juni 2011.

Namun, pada 25 Oktober 2011 ia mendapatkan bebas bersyarat, setelah menjalani dua per tiga masa tahanan ditambah remisi. Pembebasan bersyarat ini menjadi bentuk penghargaan bagi Agus Condro, karena telah berperan menjadi justice collaborator.

2. Kasus Penggelapan Pajak Asian Agri (Vincentius Amin Sutanto)

Vincentius Amin Sutanto merupakan group financial controller Asian Agri, yang membeberkan penyimpangan pajak yang dilakukan perusahaannya pada 2006 silam.

Darmin Nasution selaku Direktur Jendral Pajak saat itu, kemudian membentuk tim khusus yang terdiri atas pemeriksa, penyidik dan intelijen. Tim ini bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kejaksaan Agung.

Dari hasil penyidikan, ditemukan pelanggaran administrasi sekaligus pelanggaran pidana yang dilakukan oleh beberapa pihak di Asian Agri.

Vincent sendiri, didakwa dengan pasal-pasal tentang pencucian uang. Pasalnya, ia bersama rekannya sempat mencoba mencairkan uang Asian Agri. Atas perbuatannya ini, ia dijatuhi vonis 11 tahun penjara pada 3 April 2008. Namun, pada 11 januari 2013 Vincent mendapatkan pembebasan bersyarat, karena dinyatakan sebagai justice collaborator.

Contoh Vonis Berat Meski Terdakwa Berstatus Justice Collaborator

Tidak semua justice collaborator mendapatkan penghargaan berupa vonis yang lebih ringan dari tuntutan jaksa, atau mendapatkan pembebasan bersyarat. Ada beberapa kasus di mana saksi pelaku justru mendapatkan hukuman lebih berat dari tuntutan.

1. Kasus Korupsi Pengadaan E-KTP

Dalam kasus korupsi pengadaan E-KTP, dengan jumlah kerugian negara yang mencapai Rp 2,3 triliun ini, ada dua terdakwa yang mendapatkan status justice collaborator. Keduanya merupakan pejabat dalam Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)

Kedua orang yang dimaksud, adalah mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Sugiharto, dan mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman.

Dalam proses peradilan di tingkat pertama, Irman dan Sugiharto masing-masing divonis 7 dan 5 tahun penjara pada 20 Juli 2017.

Majelis hakim menyatakan mempertimbangkan status justice collaborator, sehingga hukuman yang dijatuhkan sama dengan tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun di tingkat kasasi, Mahkamah Agung (MA) memperberat hukuman menjadi masing-masing 15 tahun penjara.

Memang, melalui keterangan Irman dan Sugiharto sebagai justice collaborator, terungkap pelaku lain yang berperan lebih besar, termasuk mantan Ketua DPR, Setya Novanto. Namun, majelis hakim MA menilai perbuatan para terdakwa bersifat masif.

Selain itu, perbuatan yang dilakukan menyangkut kedaulatan pengelolaan data kependudukan nasional membuat dampaknya masih dirasakan oleh masyarakat.

2. Kasus Suap Red Notice (Tommy Sumardi)

Tommy Sumardi merupakan seseorang yang didakwa dalam kasus dugaan korupsi pengurusan penghapusan daftar buronan atas nama terpidana korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra. Perannya dalam kasus ini, adalah sebagai perantara suap dari Djoko Tjandra ke dua jenderal polisi.

Pada 15 Desember 2020, permohonan Tommy sebagai justice collaborator diterima dan dibacakan jaksa dalam sidang tuntutan. Jaksa mengungkapkan beberapa hal yang memperingan, yakni Tommy mengakui perbuatannya dan bukan pelaku utama.

Sebagai justice collaborator, ia juga dinilai telah memberikan keterangan atau bukti-bukti yang signifikan dalam mengungkap tindak pidana dan pelaku lainnya. Oleh karena itu, jaksa menuntut Tommy dengan pidana 1 tahun 6 bulan penjara.

Namun, dalam pembacaan vonis pada 29 Desember 2020, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis hukuman pidana 2 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.

Menurut majelis hakim, hal yang memberatkan Tommy adalah perbuatannya tidak mendukung pemerintah dalam rangka pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Atas vonis ini, Tommy telah menyatakan tidak akan mengajukan banding. Alasannya, tidak ingin mengikuti proses hukum yang berlarut-larut.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...