Seabad Perjalanan RSCM Sebelum Ditegur Kemenkes Soal Bullying
Kasus perundungan alias bullying di kalangan dokter mendapat perhatian dari Kementerian Kesehatan. Pada Kamis lalu (17/8), Kemenkes memberi sanksi pada tiga rumah sakit atas isu tersebut, salah satunya Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusuomo.
Pihak RSCM mendukung teguran tersebut. Per 24 Juli lalu, rumah sakit sudah mengeluarkan Peraturan Direktur Utama tentang Pencegahan dan Penanganan Perundungan dan Kekerasan Seksual di RSCM. Beleid ini juga melahirkan Satuan Tugas Anti Perundungan dan whistle blowing system alias WBS untuk mengadukan perundungan dan/atau kekerasan seksual yang terjadi di sana.
“Kami memandang sanksi peringatan yang kami terima ini sebagai bentuk pembinaan dari Kemenkes dan menjadi sebuah momentum peningkatan upaya pencegahan dan menghilangkan segala bentuk perundungan yang bisa terjadi di RSCM,” dilansir dari rilis RSCM yang Katadata.co.id terima.
Menanggapi rekomendasi dari Inspektur Jenderal Kemenkes drg Murti Utami, pihak RSCM akan menyempurnakan sistem pengawasan bagi pihak eksternal dan internal terkait proses pendidikan.
Berakar dari Sekolah Dokter Jawa
Rumah sakit ini sudah berusia lebih dari seabad dan tidak lepas dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. RSCM memperingati hari berdirinya pada 19 November 1919, dengan nama awal Centraal Burgerlijke Ziekeninrichting alias CBZ.
Dari keterangan sejarawan kesehatan Ravando Lie, sudah ada rumah sakit yang berdiri di lokasi CBZ sebelumnya. Lembaga ini bernama Stadsverband yang berada di bawah pengelolaan Gemeente alias Kotapraja Batavia atau Jakarta sekarang.
“Saat berdiri, CBZ memang disiapkan menjadi rumah sakit modern di awal abad ke-20,” katanya, dilansir dari Harian Kompas. “Ada 200-an kamar rawat, fasilitas rumah pompa air, dapur, tempat mesin-mesin, bangunan paviliun besar untuk perawatan pasien, dan fasilitas lainnya.”
Namun, laman resmi RSCM mencatat hikayat mereka bisa ditarik lebih jauh lagi hingga 1896. Kala itu, laboratorium dan Sekolah Dokter Jawa masih berada pada satu pimpinan, Dr H Roll. Pada 1910, Sekolah Dokter Jawa berubah nama menjadi School ter Opleiding van Indische Artsen alias STOVIA, cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Seiring dengan bergantinya nama Stadsverband menjadi CBZ pada 1919, gedung rumah sakit pun berpindah. Staf hingga pimpinan rumah sakit yang berada di CBZ Glodok kemudian pindah ke gedung baru di Salemba, Jakarta Pusat.
Dalam catatan Winarsih (2009), pasien yang berjumlah 300 orang dipindah dengan truk dalam waktu satu hari. Barulah tepat 19 November 1919, STOVIA resmi bersatu dengan CBZ. penggabungan dua lembaga ini saling menguntungkan, karena STOVIA butuh pasien utnuk pendidikan dokter dan CBZ dimudahkan dengan tenaga spesialis bagi pesiennya.
“Sejak saat itu penyelenggaraan pendidikan dan pelayanan kedokteran semakin maju dan berkembang bagi masyarakat luas,” tulis Winarsih.
Salah satu fasilitas CBZ yang berperan besar bagi masyarakat era itu adalah pompa air bersih. Menurut penjelasan Ravando, kolera, disentri, pes, hingga tuberkulosis menghantui warga Hindia Belanda. Wabah ini disebarkan lewat udara dan air, sehingga mereka kerap menggaunakan sarana air bersih di CBZ.
CBZ di Era Jepang dan Kemerdekaan
Saat Jepang menduduki Indonesia, CBZ menjelma rumah sakit perguruan tinggi alias Ika Daigaku Byongin. Lembaga ini berganti nama menjadi Rumah Sakit Oemoem Negeri pada 1942, dipimpin Prof Dr. Asikin Widjaja-Koesoema.
Harian Kompas mencatat bagaimana kompleks CBZ-RSCM ini menjadi tempat praktik senjata biologis yang diuji pada ribuan romusha. Akibatnya, para dokter Indonesia di Lembaga Eijkman, yang berada dalam kompleks CBZ, jadi kambing hitam tentara Jepang.
Direktur Lembaga Eijkman, Dokter Achmad Mochtar, salah satunya. Ia dihabisi Kempetai alias tentara Jepang pada 3 Juli 1945 karena dituding menyabotase vaksin tipus, kolera, dan disentri. “Padahal, vaksin itu buatan Lembaga Pasteur di Bandung, Jawa Barat,” tulis Kompas.
Kemudian pada 1950 berganti nama menjadi Roemah Sakit Oemoem Poesat alias RSOP. Tepat pada kemerdekaan Indonesia ke-19 atau 17 Agustus 1964, Menteri kesehatan Prof. dr. Satrio meresmikan RSOP menjadi Rumah Sakit Tjipto Mangunkusumo. Perubahan ejaan baru bahasa Indonesia turut mengubah nama lembaga ini menjadi RSCM.
Berdasar Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 553/Menkes/SK/VI/1994 yang terbit pada 13 Juni 1994, lembaga ini berubah nama menjadi RSUP Nasional Cipto Mangunkusumo. Hingga pada 2010, RSUPN Cipto Mangunkusumo ini berdiri sebagai RS Pendidikan Utama Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.