BATA Tutup Pabrik dan PHK Karyawan, BEI Tak Akan Buru-buru Delisting
Bursa Efek Indonesia (BEI) mengambil langkah usai PT Sepatu Bata Tbk (BATA) resmi menutup pabriknya di Purwakarta, Jawa Barat, pada Selasa (30/4). Penutupan pabrik alas kaki yang telah didirikan sejak tahun 1994 tersebut dilakukan karena kerugian produksi.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna mengatakan penutupan pabrik memang sudah menjadi perhatian, apalagi BATA juga memutuskan hubungan kerja atau PHK karyawannya. Tak hanya itu, Bursa juga telah meminta tanggapan lebih jauh kepada emiten sepatu yang telah berdiri sejak 1894 itu.
“Sudah kita lakukan dan mohon ditunggu jawabannya beberapa hari ke depan,” kata Nyoman, kepada wartawan di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, pada Rabu (8/5).
Terkait delisting, Nyoman mengatakan Bursa akan melihat perkembangan dari BATA dan tak ingin terburu-buru untuk menghapus saham tersebut. Bursa juga hingga saat ini tak menghentikan perdagangan saham BATA di pasar reguler maupun negosiasi. Nyoman menilai perusahaan tak melalaikan kewajibannya di pasar modal.
Di sisi lain, saham BATA justru menguat 6,76% ke level Rp 79 per lembar saham pukul 13.47 WIB. Adapun volume saham yang diperdagangkan tercatat 83,30 ribu dengan nilai transaksinya Rp 6,48 juta. Sementara frekuensi perdagangannya tercatat sebanyak 46 kali. Adapun kapitalisasi pasarnya senilai Rp 102,7 miliar.
Bursa juga telah memberikan notasi L di saham BATA. Artinya, perusahaan tercatat terlambat menyampaikan laporan keuangannya.
Rekam Jejak Kerugian Sepatu Bata
Produsen alas kaki asal Ceko tersebut tercatat mulai mencatatkan kerugian pada 2020. Berdasarkan penelusuran, Bata mencatatkan rugi bersih sebesar Rp 177,76 miliar pada 2020. Pada 2021, catatan rugi bersih Bata menyusut sebesar 71,18% menjadi Rp 51,207 miliar.
Kerugian ini disebabkan angka penjualan yang tidak mencapai target. Pada 2021, penjualan Bata tercatat merosot 4,57% menjadi Rp 438,48 miliar. Besarnya beban penjualan dan pemasaran menjadi tekanan tambahan yang besar bagi Bata dengan nilai sebesar Rp 194,019 miliar.
Pada 2022, catatan kerugian Bata justru semakin membengkak, meskipun terdapat sedikit perbaikan pada tahun sebelumnya. Saat itu, Bata membukukan kerugian sebesar Rp 105,91 miliar atau meroket sebesar 106,85% dalam setahun.
Padahal, di tahun tersebut Bata mencatatkan peningkatan penjualan sebesar 46,74% dengan nilai Rp 643,45 miliar, dibandingkan penjualan pada tahun sebelumnya yang hanya meraup Rp 438,48 miliar. Persoalannya, peningkatan penjualan juga ikut meningkatkan beban pokok penjualan yang tercatat sebesar Rp 383,43 miliar. Nilai beban pokok penjualan sepanjang 2022 tersebut, meningkat 57,99% dari nilai di tahun sebelumnya sebesar Rp 242,71 miliar.
Kerugian usaha yang dialami Bata ikut meningkat sebesar 4,1% dari Rp 58,21 miliar pada 2021, menjadi Rp 60,63 miliar pada 2022. Selain itu, total ekuitas perusahaan turun menjadi Rp 319,76 miliar, liabilitas melonjak menjadi Rp 404,30 miliar yang membuat keadaan semakin sulit bagi Bata.
Kinerja Bata semakin terpuruk pada 2023. Bata mencatatkan peningkatan kerugian sepanjang Januari-September 2023 dengan nilai Rp 80,65 miliar, atau meningkat 46,74% dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya, yang tercatat sebesar Rp 20,43 miliar. Kondisi ini berbanding terbalik dengan penjualan bersih yang dibukukan menurun 0,42% menjadi Rp 488,87 miliar pada periode tersebut.
Apabila dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya, Bata mencatatkan penjualan bersih sebesar Rp 490,57 miliar. Menghadapi kerugian ini, manajemen Bata sempat memutuskan untuk menjual Graha Bata, gedung kantor pusat BATA yang terletak di Jakarta Selatan yang diumumkan dalam pengumuman resmi di Bursa Efek Indonesia pada Kamis (7/3).
Gedung tersebut terdiri dari enam lantai dengan luas total bangunan mencapai 4.239,43 m2, berdiri di atas tanah seluas 1.993 m2 yang dikenal sebagai Graha Bata, berlokasi di Jalan T.B. Simatupang Nomor 28.