Mengintip Rencana PGEO Saat Harga Saham Terjun di Bawah IPO, Bakal Ada Buyback?


Harga saham emiten Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bidang panas bumi, PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) terus turun. Merujuk data perdagangan Bursa Efek Indonesia, harga saham PGEO kini sudah di bawah saat penawaran umum perdana saham atau initial public offering (IPO) pada Februari 2023 lalu.
Melansir prospektus IPO, perusahaan berkode PGEO ini menetapkan harga per saham Rp 875 dan menawarkan 103 miliar saham saat IPO. Namun apabila menilik perdagangan sahamnya pagi ini, Selasa (11/3) pukul 10.30 WIB, saham PGEO terpantau tergelincir 0,61% ke level Rp 820 per lembar saham.
Volume yang diperdagangkan tercatat 1,28 juta dengan nilai transaksi Rp 1,05 miliar dan kapitalisasi pasarnya menjadi Rp 34,04 triliun. Dalam seminggu terakhir, PGEO tergelincir 3,21% dan anjlok 11,76% secara year to date (ytd). Adapun dalam enam bulan terakhir, saham PGEO terperosok hingga 28,57%.
Bila ditarik rentang waktu yang lebih panjang, tren penurunan harga saham PGEO mulai terjadi sejak Oktober 2024. Pada 14 Oktober harga saham PGEO masih berada di level 1.180 dan terus merosot ke bawah Rp 1.000. Pada akhir Januari sempat terjadi kenaikan harga tapi tidak berlangsung lama.
Menanggapi hal itu, Direktur Keuangan Pertamina Geothermal Energy, Yurizki Rio, mengatakan bahwa harga saham PGE memang telah mengalami koreksi sejak September. Menurutnya, pergerakan tersebut masih sejalan dengan fluktuasi IHSG secara keseluruhan.
“Ini kan semua terkait dengan kondisi makro, capital outflow, dan sebagainya,” kata Yurizki seperti dikutip Selasa (11/3).
Pertamina Geothermal (PGEO) Bakal Buyback Saham?
Terkait rencana buyback saham, Yurizki menyebut bahwa saat ini banyak perusahaan terbuka, baik BUMN maupun swasta, memanfaatkan momentum koreksi harga saham untuk melakukan buyback. Beberapa emiten BUMN yang sudah mengumumkan buyback adalah PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI).
Menurut Yurizki, untuk PGEO saat ini manajemen masih mengkaji rencana buyback dengan mempertimbangkan jumlah kelebihan kas yang dimiliki oleh perusahaan. Selain itu, ia menyoroti perbedaan dalam tingkat saham yang beredar (floating).
Yurizki mengatakan Mandiri dan BBRI memiliki floating yang cukup besar, sekitar 20%-30%. Sementara itu, PGEO hanya sekitar 10%, sehingga perlu kehati-hatian dalam mengambil keputusan buyback.
“Jadi kami harus sangat hati-hati kalau kita melakukan buyback, itu ada ketentuan BEI, kan kami mesti minimum floating di 7,5%,” ujar Yurizki.
Sebelumnya sejumlah emiten perbankan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tengah bersiap melaksanakan pembelian kembali saham atau buyback saham dalam waktu dekat. Langkah ini dilakukan oleh PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) dengan nilai mencapai triliunan rupiah.
Kemudian Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) menggelar pertemuan bersama pelaku pasar modal pada Senin (3/3) kemarin. Dalam pertemuan tersebut, OJK, BEI, dan pelaku pasar modal membahas anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan Bursa Karbon (PMDK) OJK Inarno Djajadi mengatakan, pihaknya tengah mengkaji buyback atau pembelian kembali saham tanpa menggelar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
"Jika diperlukan yaitu mengkaji buyback saham tanpa RUPS, dengan tetap memperhatikan dan mempertimbangkan situasi dan kondisi yang terjadi nantinya," jelasnya.
Inarno mengatakan, OJK dan BEI akan fokus pada tiga hal dalam menetapkan opsi kebijakan tersebut, yakni stabilitas pasar, peningkatan likuiditas, dan juga perlindungan investor.