Sejarah Pasar Modal Indonesia di Masa VOC hingga Meletusnya Perang Dunia I
Pasar modal Indonesia yang dikenal hari ini bukanlah kelanjutan langsung dari pasar modal pada masa kolonial Belanda maupun pada era 1950-an. Meski demikian, jejak historis keberadaan pasar modal memiliki benang merah dengan pasar modal di era Hindia Belanda.
Melansir dari buku berjudul Pasar Modal Indonesia, Retrospeksi Lima Tahun Swastanisasi Bursa Efek Jakarta yang diterbitkan oleh Bursa Efek Jakarta, disebutkan bahwa banyak pengamat menyepakati Amsterdamse Effectenbeurs menjadi bursa efek tertua di dunia. Bursa yang berdiri di Dam Square, Amsterdam pada tahun 1611 ini memperdagangkan saham dan obligasi milik Camere der Oost-Indische Compagnie atau COIC, cikal bakal dari perusahaan dagang raksasa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan pasar modal pertama di Hindia Belanda.
Sebagian besar keuntungan VOC berasal dari kekayaan alam Indonesia yang pada akhirnya menjadi salah satu target utama ekspedisi dagang dan kolonialisme Belanda. Dana hasil perdagangan saham VOC inilah yang kemudian digunakan untuk membiayai kolonisasi Indonesia selama ratusan tahun.
Di Hindia Belanda, aktivitas jual-beli efek dimulai pada abad ke-19. Menurut Effectengids yang diterbitkan Vereniging voor den Effectenhandel pada 1939, perdagangan saham dan obligasi telah terjadi sejak 1880, meski belum tercatat secara resmi karena belum ada lembaga bursa yang menaungi.
Catatan formal perdagangan efek pertama muncul pada tahun 1892, ketika perusahaan perkebunan bernama Cultuurmaatschappij Goalpara yang berkantor di Batavia menerbitkan prospektus penjualan 400 saham senilai 500 gulden per lembar. Pada 1896, surat kabar Het Centrum dari Djocjacarta juga mempublikasikan penawaran saham senilai 105 ribu gulden.
Namun, belum diketahui secara pasti apakah saham-saham itu benar-benar diperjualbelikan secara aktif. Kemungkinan besar, saham dan obligasi yang ramai diperdagangkan kala itu adalah efek-efek yang terdaftar di Bursa Amsterdam dan dimiliki oleh investor di Batavia, Surabaya dan Semarang.
Karena belum ada lembaga resmi yang mewadahi aktivitas perdagangan efek, pada 14 Desember 1912, didirikanlah Bursa Efek di Batavia sebagai cabang dari Amsterdamse Effectenbeurs. Lembaga ini dikelola oleh Vereniging Voor de Effectenhandel (Asosiasi Perdagangan Efek). Disebutkan saat itu, Bursa Batavia menjadi pasar modal tertua keempat di Asia setelah Bombay (1830), Hong Kong (1871) dan Tokyo (1878).
Tujuan utama pendirian bursa ini adalah untuk menggalang dana guna membiayai sektor perkebunan Belanda yang tengah berkembang pesat di Indonesia. Dalam waktu singkat, bursa tersebut tumbuh menjadi bursa internasional yang menguntungkan. Efek yang diperdagangkan meliputi saham dan obligasi perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia, surat utang pemerintah Hindia Belanda, serta saham-saham asing dari perusahaan Amerika seperti American Motors, Anaconda Copper dan Bethlehem Steel.
Pada masa awal pendiriannya, Bursa Batavia memiliki 13 anggota, antara lain Fa Dunlop & Kolf, Fa A.W. Deeleman, Fa H. Jul Josstensz, Fa Jeannette Walen, Fa Wiekert & Geerlings, Fa Walbrink & Co., Wie-kert & V.d. Linden, Fa Vermeys & Co., Fa Cruyff dan Fa Gebroeders Dull.
Kemudian, bursa efek di Batavia berkembang pesat hingga menarik minat investor dari berbagai kota lain. Hampir setengah abad sejak berdirinya, Vereniging voor de Effectenhandel tetap menjadi motor penggerak perdagangan efek di Hindia Belanda. Pendirian asosiasi ini juga berkaitan dengan kebijakan Politik Etis yang diluncurkan pemerintah Hindia Belanda pada 1901 dengan harapan mempercepat pembangunan ekonomi. Kala itu, mayoritas investor merupakan warga Belanda dan Eropa yang berpenghasilan tinggi. Namun, aktivitas pasar modal sempat terhenti akibat pecahnya Perang Dunia I pada 1914–1918.
Sementara itu, bila merujuk situs resmi Bursa Efek Indonesia, pasar modal di Indonesia memang telah hadir jauh sebelum kemerdekaan, yakni sejak tahun 1912 di Batavia. Saat itu, pasar modal berfungsi untuk mendukung kepentingan ekonomi pemerintah kolonial.
Meski sudah berdiri sejak awal abad ke-20, perkembangan pasar modal mengalami kevakuman akibat Perang Dunia I. Pemerintah Indonesia baru mengaktifkan kembali pasar modal pada 1977. Sejak saat itu, dengan berbagai insentif dan regulasi yang dikeluarkan, pasar modal Indonesia mulai bertumbuh dan berkembang hingga saat ini.
