Di Balik Transformasi Bukit Asam (PTBA): Akuisisi Tambang Baru, Perkuat Logistik

Karunia Putri
11 Agustus 2025, 06:20
PTBA
ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/YU
Kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (17/12/2024).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Emiten tambang batubara milik negara, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) tengah menyiapkan sejumlah ekspansi untuk melebarkan sayap bisnis. Strategi ini mencakup akuisisi tambang baru, penguatan angkutan logistik hingga diversifikasi produk batubara menjadi berbagai produk turunan bernilai tambah.

Direktur Hilirisasi dan Diversifikasi Produk PTBA Turino Yulianto mengatakan, transformasi ini merupakan jawaban dari tantangan global di industri batu bara. Strategi ini sekaligus mendukung ketahanan energi nasional. 

“Kami fokus pada pengelolaan sumber daya dan cadangan, kepemimpinan pasar, peningkatan produksi, penguatan bisnis energi serta pengembangan hilirisasi,” kata Turino dalam diskusi media Kamis (7/8) lalu. 

Empat Pilar Diversifikasi PTBA 2025-2029

Turino memaparkan, selama periode 2025–2029, Bukit Asam akan melakukan ekspansi dengan acuan empat pilar diversifikasi. Pilar pertama adalah akuisisi tambang batu bara yang dinilai akan potensial.

Soal akuisisi ini ia mengatakan saat ini perusahaan tengah melakukan kajian calon tambang baru yang akan diakuisisi. Ia mengatakan beberapa tambang sudah dalam penjajakan dan akan segera direalisasikan setelah ada kesepakatan. 

Pilar kedua adalah ekspansi logistik dan infrastruktur. Turino mencontohkan, tambang milik Bukit Asam di Sumatera Selatan kerap terhambat bukan karena produksi, tetapi biaya transportasi. 

“Biaya mengeluarkan batubara dari tambang ke pelabuhan sangat berat,” katanya.

PTBA kini menggarap proyek unlocking logistic dengan pembangunan jalur angkutan Tanjung Enim (TE) Kramasan yang ditarget rampung pada kuartal kedua tahun 2026. Opsi lain adalah memanfaatkan jalur KAI Slot SMBR, TE Tarahan II serta conveyor system TE Sungai Musi.

Pilar selanjutnya adalah hilirisasi energi dan utilitas. Dia kemudian menjelaskan sejumlah proyek hilirisasi yang tengah digarap antara lain adalah Fase R&D yang mencakup Coal to artificial graphite & anode sheet untuk ekosistem mobil listrik, serta coal to asam humat untuk pupuk.

Lalu ada fase validasi komersial yang mencakup coal to DME, coal to SNG (synthetic natural gas), coal to methanol dan coal to ammonia. Turino menjelaskan, konversi batubara padat menjadi produk cair atau gas dapat memangkas biaya logistik. 

“Mengirim benda padat lebih mahal daripada cair atau gas. Jadi, pabrik dibangun di dekat tambang,” ujarnya.

Proyek coal to artificial graphite dikembangkan untuk suplai industri kendaraan listrik dan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Sementara coal to asam humat yang akan diluncurkan sebagai proyek percontohan bersama Universitas Gadjah Mada diyakini mampu meningkatkan produktivitas pertanian hingga dua kali lipat dengan penggunaan pupuk lebih efisien. Proyek ini diperkirakan rampung awal tahun depan.

“Yang tadinya satu ton jadi cukup 500 kilo. Kalau ini berhasil, saya kira akan jadi game changer untuk pupuk, karena batubara PTBA ada banyak,” kata dia. 

Untuk batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME), Turino menegaskan PTBA akan menghitung matang aspek keuntungan dan risiko. “Kami yakin proyek ini bisa jalan dengan beberapa asumsi yang nanti didiskusikan dengan pemerintah,” katanya.

Adapun coal to SNG dikerjakan bersama Perusahaan Gas Negara untuk mengantisipasi potensi kekurangan pasokan gas industri pada 2028. Sementara coal to methanol masuk peta jalan PTBA karena memiliki pasar yang lebih stabil dibanding DME, serta membuka peluang industri turunan. Proyek ammonia juga disiapkan untuk bahan baku pupuk.

Pilar terakhir yakni, Bukit Asam tengah menyiapkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap untuk memasok listrik bagi anggota MIND ID seperti Antam dan Timah dengan pasokan batubara internal dari PTBA. Perusahaan juga mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di area reklamasi tambang, di jalan tol dan untuk kebutuhan petani seperti pompa air bertenaga surya di daerah tanpa irigasi.

Turino mengakui tantangan utama dari seluruh proyek ini adalah kebutuhan investasi atau capital expenditure (capex) yang besar di awal. “Sebagai gambaran, subsidi LPG per tahun mencapai Rp 80–90 triliun. Membangun satu pabrik DME atau methanol membutuhkan investasi sekitar Rp 50 triliun, tapi setelah itu bisa memproduksi terus-menerus,” ujarnya.

Melalui diversifikasi ini, Bukit Asam bercita-cita mampu menambah volume produksi hingga 100 juta ton per tahunnya. Perusahaan juga menargetkan volume produksi saat ini sekitar 40 juta ton.

Bukit Asam juga optimistis, melalui konversi batubara menjadi produk turunan seperti dimethyl ether (DME) mampu menghasilkan nilai hingga 4,3 kali lebih besar dibanding penjualan batubara mentah. Sementara SNG diproyeksikan akan menghasilkan nilai tambah sebesar 5,7 kali, methanol sebesar 4,7 kali lipat serta ammonia sebesar 4,8 kali.

“Secara logika sederhana, jika saat ini produksi sekitar 40 juta ton menghasilkan penjualan Rp 40 triliun, maka dengan hilirisasi yang memberi nilai lima kali lipat, potensi pendapatan bisa mencapai Rp 200 triliun, dengan volume batubara yang sama,” kata dia lagi.

Kinerja Keuangan Bukit Asam Selama Semester 1

Direktur Utama Bukit Asam Arsal Ismail mengatakan terdapat sejumlah faktor yang bisa mempengaruhi pendapatan dan laba usaha perusahaan pada tahun depan. Ia mengakui untuk semester pertama 2025 ini laba PTBA lebih rendah dibanding tahun sebelumnya namun masih dalam rentang yang terkendali karena capex yang lebih besar. 

“Secara keseluruhan kondisi PTBA masih sangat sehat kok,” ujar Arsal dalam temu media, Kamis (8/6) malam. 

Arsal menjelaskan, pada semester pertama 2025 kinerja keuangan PTBA tengah tertekan akibat penurunan harga batu bara global. Saat ini, harga jual batu bara jika mengacu pada indeks ICI 1 di tahun lalu berada di sekitar US$ 140 per ton, kini berkurang drastis menjadi US$ 100 per ton. 

Menurut Arsal strategi yang ditempuh Bukit Asam adalah mengejar kenaikan volume penjualan. Target produksi tahun ini juga dinaikkan lebih dari 40 juta ton demi mengimbangi harga jual yang turun.

“Mungkin pendapatan kami bisa kejar dari volume, tapi labanya kemungkinan besar tidak,” ujarnya.

Merujuk laporan keuangan Bukit Asam, perseroan mencatatkan penurunan laba bersih sebesar 59% selama semester pertama 2025. Laba bersih perseroan menyusut menjadi Rp 833,04 miliar dari Rp 2,03 triliun pada periode yang sama secara tahunan. Namun pendapatan perseroan tumbuh 4,12%. 

Pendapatan PTBA selama paruh pertama 2025 tercatat Rp 20,45 triliun dari Rp 19,64 triliun pada paruh pertama 2024. Corporate Secretary PTBA Niko Chandra mengatakan, komposisi penjualan tersebut terdiri dari 54% dari pasar domestik dan 46% dari ekspor.

Meski PTBA mengalami penurunan permintaan dari pasar ekspor utama seperti Cina, PTBA dapat menjaga kinerja penjualan dengan melakukan ekspansi bisnis berupa ekspor ke negara-negara seperti Bangladesh, India, Vietnam, Filipina dan Thailand. 

Sejalan dengan peningkatan produksi dan penjualan, volume angkutan batu bara turut meningkat sebesar 9% menjadi 19,27 juta ton dari sebelumnya 17,70 juta ton. Peningkatan ini didukung oleh optimalisasi rantai pasok dan efisiensi di sektor logistik.

Peningkatan aktivitas operasional tersebut berkontribusi terhadap pendapatan konsolidasi PTBA yang tercatat Rp 20,45 triliun, naik 4% dibandingkan Rp 19,64 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Total aset perusahaan juga mengalami pertumbuhan sebesar 2%, dari Rp 41,79 triliun per 31 Desember 2024 menjadi Rp 42,68 triliun per 30 Juni 2025.




Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Karunia Putri

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...