Deret Sektor yang Ambruk dan Tumbuh Saat Krisis Moneter 1998 Goncang Pasar Modal
Krisis moneter yang melanda negara-negara di Asia pada 1997-1998 mengguncang hampir semua sektor di pasar modal Tanah Air. Krisis kala itu berakibat pada nilai tukar rupiah yang ambruk ke level Rp 16.900 per US dollar, laju inflasi tembus 77%, hingga pertumbuhan ekonomi jeblok 13%.
Selama masa krisis investor asing menarik diri mengakibatkan gelombang capital outflow sehingga Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpuruk. Sejak Juli 1997 hingga Mei 1998, IHSG sudah anjlok hingga lebih dari 42%. Sektor yang paling terdampak adalah sektor perbankan.
Masyarakat berbondong-bondong membeli dollar yang mengakibatkan rupiah kian terdepresiasi. Guna mencegah rupiah yang kian terpuruk, Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunganya.
Alih-alih menyelamatkan pasar, aksi itu justru berdampak pada gelombang kredit macet yang memperketat likuiditas sektor perbankan. Kepercayaan masyarakat terhadap perbankan menurun, nasabah ramai-ramai menarik dananya dari bank atau bank rush.
Riset Yudanto (1998) membedah perbedaan pertumbuhan sektoral sebelum dan saat krisis moneter 1997-1998 terjadi. Tiap sektor diuji terhadap gejolak nilai tukar rupiah dan gejolak suku bunga kala itu.
Hasilnya, sektor yang paling besar mengalami penurunan pertumbuhan berturut-turut adalah sektor bangunan, keuangan, industri, dan perdagangan. Sebaliknya, pertanian adalah sektor yang paling resisten.
Goncangan Bagi Sektor Perbankan
Selama periode Januari 1997 hingga Mei 1998, saham-saham perbankan swasta memang berguguran. Penurunan tercuram dialami PT Bank Danamon Indonesia Tbk sebesar 88%. Begitu pula dengan PT Bank CIMB Niaga (dulu Bank Lippo) dan PT Bank Maybank Indonesia (dulu Bank International Indonesia/BII) yang masing-masing anjlok hingga 76%.
Bank negara yang melantai di papan pencatatan utama bursa saat itu, Bank Negara Indonesia (BNI), juga terkena imbas penurunan hingga 70%.
Dampak krisis terhadap sektor perbankan memang merontokkan kinerja bank-bank dalam negeri secara berkepanjangan. Pemerintah saat itu sampai membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan menyalurkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada bank-bank yang terkena masalah likuiditas.
Pada November 1997, 16 bank gelombang pertama dilikuidasi. Sepanjang 1997-1998, BLBI yang disalurkan sudah mencapai sekitar Rp144,5 triliun pada total 48 bank.
Setelahnya, sejumlah bank melakukan restrukturisasi hingga merger sebagai langkah penyehatan kinerja. Bank Lippo melakukan merger dengan Bank Niaga dan berganti nama menjadi Bank CIMB Niaga. Bank Danamon dimerger dengan sembilan bank lainnya yang masuk kategori Bank Take Over (BTO).
Bank International Indonesia atau BII yang dulu dimiliki grup Sinar Mas, diakuisisi oleh Maybank. Empat bank yang nyaris bangkrut kala itu yaitu Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Pembangunan Indonesia, dan Bank Expor Impor dimerger menjadi Bank Mandiri.
Saham-Saham Terdampak Krisis Moneter
Di luar sektor perbankan, saham sektor industri dan properti juga tercatat terpuruk saat krisis moneter. Semua saham pada papan pencatatan utama bursa di sektor industri mengalami penurunan 60% hingga 80% sepanjang periode Januari 1997-Mei 1998. Tercuram, penurunan terjadi pada emiten PT United Tractors Tbk yang sahamnya anjlok 88%.
Hal yang sama juga terjadi sektor properti dan real estat. Seluruh saham pada papan pencatatan utama rontok 50% hingga 90%. Tercuram, penurunan terjadi pada emiten PT Ciputra Development Tbk yang anjlok hingga 91% selama periode Januari 1997-Mei 1998.
Di sisi lain, sejumlah emiten komoditas utama ekspor menunjukkan pertumbuhan indeks saham yang signifikan selama periode krisis.
PT Vale Indonesia Tbk (dulu International Nickel Indonesia) mengalami pertumbuhan saham hingga 171%. Emiten komoditas timah PT Timah Tbk juga mengalami pertumbuhan 62% selama periode Januari 1997-Mei 1998. Begitu pula dengan emiten pertanian kelapa sawit PT Astra Agro Lestari Tbk yang naik 82%.
