Asa Pertumbuhan Ekonomi RI dalam Genggaman Hilirisasi Nikel MIND ID
Mining Industry Indonesia (MIND ID) melalui PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) atau Antam menjadi salah satu motor penggerak hilirisasi nikel yang menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hilirisasi ini sekaligus memperkuat posisi industri nasional di tengah tren global kendaraan listrik electric vehicle (EV).
Sebagai langkah strategis, Antam mengembangkan ekosistem baterai terintegrasi di kawasan industri energi baru Feni Haltim (FHT) di Halmahera Timur. Proyek yang terdiri dari lima subproyek ini tidak hanya berfokus pada investasi, tetapi juga bentuk komitmen Antam dalam memperkuat rantai nilai nikel dan baterai kendaraan listrik di dalam negeri.
Bersama konsorsium Ningbo Contemporary Brun Lygend (CBL), yang terdiri dari raksasa baterai Cina seperti Contemporary Amperex Technology Co Ltd (CATL) dan Brand & Legend, Antam tengah menggarap pembangunan smelter nikel pirometalurgi berbasis rotary kiln electric furnace (RKEF). Bahkan Antam memegang 40% saham dan nilai proyek ini mencapai sekitar US$ 1,4 miliar atau sekitar Rp 23,03 triliun.
Konstruksi smelter ini dirancang mampu memproduksi 88 ribu ton nickel pig iron (NPI) sebanyak per tahun. Proyek RKEF telah juga melewati tahap groundbreaking pada akhir Juni lalu dan jadwal konstruksi pabrik pun akan dimulai sekitar akhir September atau Oktober 2025.
“Ini sejalan konsisten dengan rencana timeline di mana penyelesaian konstruksi dijadwalkan di akhir 2026 dan commissioning dilakukan di tahun 2027,” ucap Arianto.
Kedua, sebagai kelanjutan dari pengembangan ekosistem baterai kendaraan listrik, Antam bersama konsorsium CBL juga tengah menggarap pembangunan pabrik kedua, yakni pabrik High Pressure Acid Leach (HPAL) yang akan memproduksi Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) dengan kapasitas 55 ribu ton per tahun. Adapun porsi kepemilikan Antam sebesar 30% dan proyek ini diperkirakan menelan investasi sekitar US$ 1,9 miliar atau sekitar Rp 31,26 triliun.
Saat ini, proyek telah memasuki tahap finalisasi assessment Final Investment Decision (FID). Setelah tahap ini selesai, proyek akan berlanjut ke fase investasi pertama, yang diperkirakan dimulai pada akhir tahun 2025 atau awal 2026. Pada fase tersebut juga akan dilakukan pemilihan kontraktor Engineering, Procurement, and Construction (EPC) serta dimulainya proses konstruksi pabrik HPAL.
“Untuk proyek ini terjadwal konstruksi terselesaikan di kisaran tahun 2028 dan dilanjutkan dengan commissioning di tahun yang sama,” ujar Arianto.
Ketiga, pertambangan nikel senilai US$ 500 juta atau sekitar Rp 7,6 triliun dengan kapasitas 10 juta ton per tahun. Keempat, Antam juga mengincar proyek material baterai katoda senilai US$ 700 juta atau Rp 11,2 triliun dengan kapasitas per tahun sebesar 16 ribu ton Ni Nikel Sulfat, 30 ribu ton Ni Prekursor, dan 30 ribu ton Ni Material Aktif Katoda. Terakhir, daur ulang baterai senilai US$ 200 juta atau Rp 3,2 triliun dengan kapasitas 20 ribu ton per tahun.
Investasi Antam dalam proyek Rotary Kiln-Electric Furnace (RKEF) dan High Pressure Acid Leaching (HPAL) di Halmahera diproyeksikan menambah kapasitas pengolahan sekaligus mendorong ekonomi daerah tambang. Data BPS menunjukkan kontribusi manufaktur dan pertambangan mendominasi PDRB di Maluku Utara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara, dengan laju pertumbuhan ekonomi sempat menembus di atas 20% pada periode 2018–2022.
Sementara itu terdapat satu subproyek Antam lainnya berlokasi di Karawang, Jawa Barat, yakni proyek sel baterai senilai US$ 1,2 miliar atau Rp 19,2 triliun dengan kapasitas 15 Giga Watt Hour (GWh).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengatakan bahwa proyek ini akan memiliki kapasitas produksi baterai kendaraan listrik sebesar 6,9 Gwh yang kemudian akan ditingkatkan menjadi 15 GWh. Hal ini akan mengokohkan posisi Indonesia sebagai produsen baterai kendaraan listrik terbesar di Asia Tenggara.
"15 GWh ini sama dengan kalau kami konversi ke baterai mobil, itu kurang lebih sekitar 250 ribu sampai 300 ribu mobil. Dan atas arahan Bapak Presiden kemarin, untuk kita bangun tidak hanya baterai mobil, tapi juga baterai untuk mengisi listrik dengan mempergunakan solar panel," ujar Bahlil di Karawang, Minggu (29/6).
Pasar EV Global Meningkat Seiring Transisi Energi
Pengembangan ekosistem EV Battery RKEF dan HPAL di Halmahera hingga di Karawang tak hanya memperkuat industri baterai listrik nasional, tetapi juga menunjukkan komitmen dalam mengurangi emisi karbon dan mendukung transisi energi bersih.
Seiring dengan itu, pasar kendaraan listrik dunia terus menunjukkan pertumbuhan pesat seiring dengan agenda transisi energi dan meningkatnya kesadaran global untuk mengurangi emisi karbon. Data Global Critical Minerals Outlook 2024 mencatat penjualan mobil listrik secara global melonjak khususnya pada periode 2021–2023.
Pertumbuhan ini tidak lepas dari berbagai faktor pendorong, mulai dari penurunan harga baterai, insentif fiskal berupa keringanan pajak dan subsidi, hingga ekspansi investasi besar-besaran dalam produksi baterai dan kendaraan listrik, terutama di Cina.
Cina tercatat menjadi pemain utama yang mendominasi pasar, baik sebagai produsen maupun konsumen kendaraan listrik. Hampir seluruh lonjakan pasar global dipicu oleh penetrasi kendaraan listrik buatan negeri tersebut. Hal ini terlihat dari data penjualan di berbagai negara yang memperlihatkan dominasi mobil listrik berasal dari Cina.
Tren serupa juga terjadi di negara-negara berkembang. India, Thailand, hingga Indonesia mulai mencatat kenaikan signifikan dalam adopsi kendaraan listrik. Misalnya di India, penjualan kendaraan listrik pada 2023 melonjak tajam dibanding 2021, dengan pangsa pasar yang sebagian besar dikuasai produsen mobil domestik dan produsen asal Cina. Sementara itu, di Thailand, pangsa penjualan EV juga meningkat drastis berkat masuknya mobil listrik buatan Cina.
Inovasi teknologi turut mempercepat pertumbuhan pasar. Baterai yang semakin efisien dan terjangkau membuat daya tarik EV kian tinggi. Tak hanya itu, pembangunan infrastruktur pengisian daya di berbagai negara juga menjadi katalis penting.
Industri Smelter Tumbuh Pesat Usai Larangan Ekspor Bijih Nikel
Di samping itu cadangan nikel Antam kini mencapai hampir 500 juta wet metric ton (wmt) per Desember 2024 atau sekitar 9% dari total cadangan nikel nasional. Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Antam, Arianto Sabtonugroho menyampaikan Antam kini memegang posisi strategis sebagai salah satu pemain utama dalam peta sumber daya mineral Indonesia.
Apalagi selama enam bulan terakhir, volume penambangan nikel Antam mencapai 9,1 juta wet metric ton, naik drastis dibandingkan 4,2 juta wet metric ton pada periode yang sama tahun lalu. Apabila dihitung sepanjang tahun lalu, produksi bijih nikel Antam hampir menyentuh angka 10 juta wet metric ton (wmt), bahkan melonjak menjadi 14,9 juta wet metric ton dalam 12 bulan terakhir.
Peningkatan produksi ini langsung berimbas pada penjualan—bahkan lebih dari itu, Antam konsisten menjalankan strategi penting, yaitu menjual seluruh bijih nikel hasil tambangnya kepada smelter di dalam negeri. Ini merupakan langkah nyata untuk mendukung kebijakan nasional meniadakan ekspor mineral mentah, sekaligus memperkuat ekosistem hilirisasi di Indonesia.
Pada paruh pertama tahun 2025 saja, volume penjualan bijih nikel mencapai 8,2 juta wet metric ton, naik signifikan dari 3,4 juta wet metric ton pada periode yang sama tahun sebelumnya. Nilai pendapatan pun melambung, dari 2 triliun rupiah menjadi Rp 6,7 triliun rupiah.
“Kami konsisten dengan strategi nasional untuk meniadakan ekspor mineral mentah seluruh hasil penambangan bijih nikel kami itu terjual di pasar domestik kepada berbagai smelter nikel yang terletak di Indonesia,” kata Arianto saat Public Expose Live 2025 secara virtual, Kamis (11/9).
Berdasarkan Katadata Insight Center, kebijakan pemerintah melarang ekspor bijih nikel sejak Januari 2020 menjadi titik balik bagi industri pengolahan mineral di dalam negeri. Alih-alih menurunkan daya saing, aturan ini justru memicu ledakan investasi pembangunan smelter, khususnya oleh investor asal Cina dan Singapura, di berbagai provinsi penghasil nikel.
Catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan terdapat 116 smelter yang sudah dibangun di Indonesia hingga 2024. Dari jumlah itu, 47 smelter nikel sudah beroperasi penuh, melonjak dibanding hanya 10 unit pada 2015. Selain itu, sebanyak 31 smelter kini masih dalam tahap konstruksi dan 38 lainnya masuk dalam daftar rencana pembangunan. Apabila seluruh proyek tersebut terealisasi, Indonesia akan memiliki total 116 unit smelter dalam waktu dekat.
Pertumbuhan Ekonomi RI dalam Genggaman MIND ID
Sebelumnya, Bahlil sempat menyebut proyek raksasa yang dijalankan Antam ini mencakup rencana investasi hingga hampir US$ 6 miliar atau sekitar Rp 98,76 triliun yang berpotensi menciptakan hingga 35 ribu lapangan kerja. Tak hanya itu, proyek ini juga berkontribusi US$ 42 miliar atau sekitar Rp 691,32 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia setiap tahunnya.
Direktur Utama Antam, Achmad Ardianto menyampaikan proyek ekosistem baterai tidak hanya soal skala investasi. Ia mengatakan proyek ini berkaitan dengan reposisi strategis Indonesia di kancah energi global.
"Kami ingin memastikan bahwa Indonesia tidak hanya menjadi eksportir bahan mentah, tapi juga pemain utama dalam rantai pasok global baterai kendaraan listrik,” ujar Ardianto seperti dikutip Senin (30/6).
Menurut Ardianto lewat proyek baru ini perusahaan akan membangun infrastruktur dari hulu ke hilir dengan prinsip keberlanjutan. Selain itu perusahaan akan menerapkan efisiensi energi, dan nilai tambah di dalam negeri.
Menurutnya, dukungan dari DPR RI menjadi sinyal penting bagi dunia usaha dan investor bahwa agenda hilirisasi nasional mendapat legitimasi politik yang kuat. Ia mengatakan Antam berkomitmen menjadikan proyek ini sebagai model industri masa depan yang berbasis rendah karbon dan berdampak luas secara sosial ekonomi.
Meski begitu, pemerintah perlu meningkatkan hilirisasi menjadi industrialisasi nikel menjadi logam setengah jadi, bahkan barang jadi di dalam negeri, seperti industri katoda, baterai dan EV berbasis kekuatan sumber daya dalam negeri. Hal itu demi mengatasi overproduksi global, meningkatkan nilai tambah ekonomi pada tahap lanjutan, memperluas lapangan kerja dan meningkatkan investasi.
Tak hanya itu, MIND ID juga berpeluang untuk memberikan kontribusi lebih banyak untuk membantu pemerintah demi mengejar pertumbuhan 8%. Hal itu lantaran hilirisasi nikel menjadi salah satu strategi untuk mengundang investor besar dunia.
Minat investor asing terhadap Aneka Tambang kian kuat sepanjang paruh pertama 2025. Harga saham emiten pelat merah di sektor pertambangan mineral itu melonjak hampir dua kali lipat, dari posisi Rp 1.545 pada Januari 2025 menjadi Rp 3.040 pada Juni 2025, atau naik sekitar 97%.
Kenaikan harga saham tersebut sejalan dengan bertambahnya porsi kepemilikan asing Antam. Pada Januari 2025, kepemilikan asing baru mencapai 12%, kemudian meningkat menjadi 15% di April, 19% di Mei, hingga menyentuh 21% pada Juni 2025.
Indonesia Kuasai Cadangan dan Produksi Nikel Dunia
Berdasarkan laporan Global Critical Minerals Outlook 2024 menyebut nikel menjadi salah satu mineral dengan permintaan yang terus meningkat, seiring akselerasi transisi energi bersih dan penggunaan kendaraan listrik (EV). Dalam hal ini Indonesia sebagai produsen nikel terbesar di dunia.
Dari total cadangan global sebesar 130 juta ton, Indonesia menyimpan 55 juta ton atau sekitar 42% dari total cadangan yang ada. Jumlah tersebut menempatkan Indonesia jauh di atas negara lain seperti Australia dengan 24 juta ton, Brasil 16 juta ton, serta Rusia 8,3 juta ton. Tak hanya itu, negara besar seperti Amerika Serikat hanya memiliki cadangan sekitar 340 ribu ton.
Dengan modal cadangan melimpah itu, Indonesia diproyeksikan menjadi produsen nikel terbesar pada 2030. Dalam penambangan, Indonesia diprediksi menguasai 62% pangsa pasar global, jauh melampaui Filipina (8%) dan Kaledonia Baru (6%).
Seiring dengan itu Indonesia juga diperkirakan menjadi pemain kunci dalam industri hilir. Pada tahun yang sama, 2030, Indonesia diproyeksikan menguasai 44% pangsa pasar global dalam pemurnian nikel, bersaing ketat dengan Cina yang berada di posisi kedua dengan 21%, serta Jepang di posisi ketiga dengan 6%
Perluas Pasar Ekspor Feronikel
Hal yang tak kalah menarik adalah transformasi bijih nikel menjadi feronikel. Antam berhasil mengolah 1,5 hingga 1,7 juta wet metric ton (wmt) bijih menjadi feronikel dengan kadar nikel berkisar antara 18%–20%. Produksi feronikel ini mencapai lebih dari 9.100 ton dalam enam bulan pertama. Penjualan feronikel juga mengalami penurunan volume, tetapi dari sisi nilai justru mencatat peningkatan signifikan, yakni mencapai Rp 1,2 triliun dari Rp 700 miliar tahun sebelumnya.
Kemudian produk feronikel Antam diserap sepenuhnya oleh pasar global lewat ekspor yang kini mulai terdiferensiasi. Selama ini, hampir 60% kebutuhan nikel dunia disuplai oleh Indonesia, dengan mayoritas pasar diserap oleh Cina.
Antam mulai melakukan diversifikasi pasar ke Korea Selatan dan India sepanjang semester pertama 2025 dan masing-masing menggenggam porsi sebesar 40% dan 26%. Sementara itu, Cina mengambil porsi 31%.
.




