Saham Gorengan Setir Kenaikan IHSG hingga Cetak Rekor, Pasar Modal Masih Sehat?
Pasar modal Indonesia sedang menjadi perhatian lantaran gerak sejumlah saham yang tak biasa. Saat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menyentuh rekor di atas level 8.200, sejumlah saham dengan kapitalisasi kecil justru menjadi penopang kenaikan.
Beberapa analis menilai hal ini dipicu oleh pergeseran minat investor dari saham-saham berfundamental kuat menuju saham konglomerat dan saham gorengan. Di pasar modal, saham gorengan dikenal sebagai saham yang harganya tidak didasarkan pada data dan fundamental melainkan karena aksi jual dan beli sesaat. Fenomena tersebut membuat aktivitas investasi di bursa dinilai tak lagi mencerminkan investasi jangka panjang.
Pengamat pasar modal Teguh Hidayat menyebut, pergeseran perilaku investor ini mulai terasa pascapandemi Covid-19. Saat itu, investor asing yang sebelumnya mendominasi pasar mulai mencatatkan aksi jual atau net sell secara konsisten setiap tahun. Situasi ini berbalik arah dari sebelum pandemi.
Menurut Teguh pada periode sebelum covid-19 investor asing mendominasi transaksi di bursa efek Indonesia dengan perbandingan 60% untuk investor asing dan 40% untuk investor domestik. Usai pandemi sekitar tahun 2022-2023, porsi itu berbalik dengan transaksi investor asing sebesar 40% di bursa indonesia dan investor domestik sisanya, 60%.
Sementara saat ini, Teguh menghitung porsi investasi investor asing hanya tinggal 30% saja.
“Itu karena memang mereka keluar terus setiap tahun, sejak Covid. Nggak ada satu tahun dimana mereka netbuy, selalu netsell. Netsellnya itu juga angkanya gede-gede, Rp 50 triliun atau Rp 30 triliun,” kata Teguh ketika dihubungi Katadata.co.id pada Jumat (10/10).
Menurut Teguh, penurunan minat asing ini disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satunya, melemahnya kinerja sejumlah emiten dan tingginya ketergantungan perekonomian nasional terhadap komoditas, terutama batu bara.
Seiring dengan turunnya harga batu bara global, investor asing semakin enggan kembali masuk ke pasar saham Indonesia. “Karena harga batu baranya turun terus, ya sudah mereka juga tidak tertarik untuk masuk lagi ke sini,” jelasnya.
Investor Beralih ke Saham Konglomerat dan Gorengan
Lebih lanjut, Teguh memaparkan, kondisi tidak biasa tercermin dari tekanan yang terjadi pada saham-saham berkapitalisasi besar, termasuk saham perbankan yang selama ini menjadi primadona bursa. Dia mencontohkan saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) yang sebagian besar saham publiknya dulu dimiliki oleh investor asing, kini kepemilikannya telah banyak beralih ke investor domestik.
Jika tren net sell asing terhadap saham-saham perbankan jumbo terus terjadi, Teguh memperkirakan tekanan harga masih akan berlanjut. Alhasil, investor lokal pun beralih ke saham konglomerat dan saham gorengan yang dinilai memberikan imbal hasil cepat, meskipun berisiko tinggi.
Teguh menilai, fenomena ini membuat pasar saham Indonesia menjadi tidak sehat. Meskipun kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terus mencetak rekor tertinggi atau all time high (ATH). Kenaikan IHSG tidak lagi mencerminkan kekuatan fundamental emiten, melainkan didorong oleh euforia dan pergerakan spekulatif pada saham konglomerat.
Saham-saham konglomerat, menurutnya, banyak digerakkan oleh pihak internal perusahaan yang berperan sebagai bandar. Investor ritel yang sebenarnya berinvestasi secara independen jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan pergerakan besar yang dikendalikan oleh pemilik saham utama.
“Yang disebut dengan investor domestik itu itu rata-rata di saham-saham konglomerat itu saja. Dan itu bukan investor retail. Bukan saya atau siapa investor ikutan beli saham konglomerat tersebut,” kata dia.
Di sisi lain, sebagian besar investor domestik memiliki pola pikir trading jangka pendek. Mereka membeli saham bukan untuk dipegang lama, tetapi untuk dijual kembali dalam hitungan hari.
Ketika investor asing keluar dari pasar, investor domestik pun ikut menarik dana mereka. Akibatnya, nilai transaksi yang mendominasi bursa kini hanya berasal dari pergerakan saham-saham konglomerat.
Kondisi ini menciptakan anomali di pasar modal. IHSG terus mencatat rekor baru, namun saham-saham berfundamental kuat justru cenderung turun. Investor asing banyak mengalihkan portofolionya ke pasar lain seperti Amerika Serikat, Cina, Korea Selatan atau Jepang. Sementara sebagian investor lokal justru berpindah ke aset lain seperti kripto.
Lebih lanjut, Teguh menyatakan, dengan anjloknya saham-saham dengan fundamental yang bagus, investor merasa menyerah dengan pola investasi di pasar modal dan mencoba ikut berinvestasi di saham gorengan.
“Jadi mereka sekarang menganggap investasi yang benar itu justru di saham-saham gorengan itu. Seperti orang dikasih narkoba ya, akhirnya sekarang dia kecanduan,” ujarnya.
IHSG Diprediksi Jeblok Jika Saham Gorengan Dibersihkan
Teguh juga menyinggung soal pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang meminta bursa membereskan saham-saham gorengan. Menurut Teguh hal tersebut dinilai telat.
“Pak Purbaya, ngomong itu telat banget. Harusnya ngomongnya dua tahun yang lalu. Kalau misalnya ngomongnya sekarang, dan tiba-tiba saja saham-saham gorengan itu jeblok semua, itu investor itu udah masuk semua ke situ. Bakal rugi gede banget mereka,” ujarnya.
Sebab menurutnya saat ini saham gorengan telah menjadi penopang IHSG. Jika saham tersebut dibersihkan, maka IHSG akan anjlok. Meski begitu, Teguh memandang ide membersihkan saham gorengan ini merupakan hal yang bagus untuk IHSG dalam jangka panjang, namun dalam jangka pendek risikonya IHSG akan hancur.
“Tapi dalam jangka pendeknya hancur, lebur pasar saham kita. Jadi serba salah sekarang itu,” ujarnya.
Jika saham-saham tersebut tiba-tiba dibereskan, IHSG berpotensi jatuh drastis, bahkan kata Teguh bisa turun dari level 8.000 ke 5.000. Hal ini akan memicu kepanikan besar di pasar dan membuat investor ritel menderita kerugian besar.
Meski begitu, Teguh menilai pembersihan saham gorengan tetap perlu dilakukan demi kesehatan pasar dalam jangka panjang. Dalam jangka pendek, IHSG memang akan terpukul hebat, tetapi setelah satu hingga dua tahun pasar akan kembali normal dan saham berfundamental kuat akan naik lagi.
“Tinggal pemerintah mau ambil risiko itu, tidak. Atau tetap dibiarkan seperti ini, tapi ya udah pasar saham kita jadi ajang judi untuk seterusnya,” kata dia.
Di kesempatan berbeda, Managing Partner PT Ashmore Asset Management Indonesia, Arief Wana menyebut, terdapat euphoria dan minat investasi yang tinggi di Indonesia yang didominasi oleh investor lokal. Dia mengatakan, data investor asing yang berinvestasi di Indonesia dari Januari hingga kemarin, Senin (6/7) tercatat dominasi aksi jual atau net sell.
Arief memaparkan, ada beberapa faktor yang menyebabkan investor asing belum berminat masuk ke pasar Indonesia. Pertama, investor asing dinilai telah menemukan pasar baru yang lebih atraktif, seperti Cina, Korea atau Taiwan, yang lebih fokus terhadap industri teknologi yang sedang naik daun. Prediksi lain menurut Arief adalah, investor asing sedang menunggu Indonesia ini memasuki fase yang mereka sangat suka.
“Yang paling pertama adalah growth. Dan kalau perusahaan-perusahaan publik ini tidak membukukan pertumbuhan yang sustainable dan yang memberikan prospek yang bagus, sulit untuk mereka berinvestasi di Indonesia,” kata Arief.
Menurutnya, sepanjang tahun ini, IHSG cenderung mengalami penguatan yang ditopang oleh beberapa sektor. Pertama adalah sektor teknologi yang naik 186,9% sepanjang tahun ini. Sektor teknologi melejit signifikan dengan pusat data dan digitalisasi menjadi bidang bisnis paling berkontribusi dalam penguatan.
Sektor kedua penopang IHSG adalah sektor material dasar yang naik 59,6% secara year to date. Adapun lini bisnis produk hilirisasi menjadi bidang yang paling berkontribusi dalam penguatan sektor ini.
