Pemerintah Rencana Demutualisasi, Bursa Efek Indonesia (BEI) Bisa IPO?
Pemerintah tengah menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang demutualisasi Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai tindak lanjut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). RPP ini akan mengubah struktur BEI dari bursa yang sepenuhnya dimiliki anggota (struktur mutual) menjadi perseroan yang kepemilikannya bisa dimiliki pihak lebih luas.
Direktur Jenderal Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan Kemenkeu, Masyita Crystallin, menjelaskan demutualisasi memungkinkan kepemilikan BEI dibuka bagi pihak di luar perusahaan efek. Menurutnya, pemisahan keanggotaan dan kepemilikan menjadi langkah strategis untuk mengurangi potensi konflik kepentingan, memperkuat tata kelola, dan meningkatkan profesionalisme.
RPP terkait demutualisasi bursa efek disusun secara bertahap melalui kajian teknis mendalam dan konsultasi dengan para pemangku kepentingan, termasuk regulator, self-regulatory organization (SRO) seperti BEI, pelaku industri, dan lembaga legislatif.
“Kami memastikan proses penyusunan RPP dilakukan secara cermat, transparan, dan partisipatif. Tujuannya strategis, yaitu memperkuat pasar modal sebagai sumber pembiayaan jangka panjang yang mampu mendorong transformasi ekonomi Indonesia menuju negara maju,” tutup Masyita dalam keterangan resminya, dikutip Senin (24/11).
Selain itu Masyita juga mengatakan demutualisasi bursa efek bukan hal baru dalam pengembangan pasar modal global. Ia menuturkan, BEI termasuk sedikit bursa utama yang masih berstruktur mutual, sementara Singapura, Malaysia, dan India telah lebih dulu melakukan transformasi.
Menurut Masyita, perubahan struktur ini membuat tata kelola bursa lebih profesional dan tanggap terhadap dinamika sistem keuangan global. Struktur demutualisasi juga diharapkan mendorong inovasi produk dan layanan, mulai dari instrumen derivatif, Exchange-Traded Fund (ETF), hingga pembiayaan infrastruktur dan transisi energi, sehingga memperdalam dan melikuidkan pasar.
“Melalui demutualisasi, kami ingin memastikan bahwa tata kelola BEI sejalan dengan praktik terbaik internasional, sekaligus tetap menjaga kepentingan publik dan integritas pasar,” kata Masyita.
Tantangan Demutualisasi
Lebih jauh, Masyita juga menegaskan kebijakan demutualisasi bursa efek tidak bisa berjalan sendiri, melainkan harus didukung oleh pengembangan pasar modal dari sisi penawaran dan permintaan. Dari sisi penawaran, salah satu tantangan utama adalah rendahnya free float yang membatasi aktivitas perdagangan dan membuat harga saham belum sepenuhnya mencerminkan kondisi pasar.
Mengingat likuiditas pasar modal Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara peers, peningkatan free float menjadi kebijakan penting yang harus sejalan dengan demutualisasi.
“Kebijakan demutualisasi bursa efek perlu diiringi penguatan ekosistem, termasuk peningkatan free float, agar dampaknya terhadap kedalaman dan likuiditas pasar modal benar-benar optimal,” kata Masyita.
Kemudian dari sisi permintaan, partisipasi investor domestik baik institusional maupun ritel perlu terus ditingkatkan. Kementerian Keuangan menyiapkan kebijakan pendukung bagi investor institusional domestik, terutama lembaga sui generis pengelola dana pensiun, termasuk kebijakan terkait mekanisme cut loss.
“Kebijakan cut loss ini nanti akan diarahkan untuk memberikan kepastian bagi pengelola dana pensiun dalam berinvestasi di pasar modal, sehingga mereka dapat berperan lebih aktif dan bertindak sebagai anchor investors yang mendorong pendalaman pasar modal,” ujar Masyita.
Strategi Pengembangan Pasar Modal
Kemudian ia juga mengatakan pemerintah menyusun strategi pengembangan pasar modal dengan mencontoh pengalaman beberapa negara, termasuk India. Dalam satu dekade terakhir, India berhasil mempercepat pertumbuhan pasar modalnya melalui penguatan tata kelola kelembagaan, kenaikan partisipasi investor domestik lewat skema Systematic Investment Plan (SIP), peningkatan jumlah dan kualitas emiten, serta efisiensi yang didorong pemanfaatan teknologi.
Hasilnya, kapitalisasi pasar modal India melonjak dari sekitar US$ 1,56 triliun atau 72,86% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2014 menjadi sekitar US$ 5,17 triliun atau 133,5% terhadap PDB pada 2024. Hal ini menunjukkan bahwa penguatan ekosistem, peningkatan partisipasi investor domestik, dan pemanfaatan teknologi yang mendukung inklusi menjadi kunci sukses reformasi pasar modal.
Bursa Efek Indonesia (BEI) Bisa IPO?
Lebih jauh, Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal Universitas Indonesia, Budi Frensidy, mengatakan bahwa BEI bisa saja melakukan IPO. Menurut Budi, demutualisasi bertujuan untuk memodernisasi tata kelola bursa, meningkatkan daya saing global, mendorong inovasi produk pasar modal seperti derivatif, ETF, atau instrumen pembiayaan jangka panjang, serta memperdalam likuiditas pasar.
“Iya, bisa saja utk dibuat IPO, jika mau,” kata Budi ketika dihubungi Katadata.co.id, Senin (24/11).
Selain itu Budi juga menyebut bahwa pemerintah menilai struktur baru BEI dapat membantu memperdalam pasar modal. Dalam RPP demutualisasi, penguatan ekosistem baik dari sisi penawaran seperti peningkatan free float, maupun dari sisi permintaan seperti partisipasi investor institusional penting untuk meningkatkan likuiditas pasar dan mengurangi potensi benturan kepentingan.
“Manfaat lainnya adalah akuntabilitas meningkat dan tata kelola (profesionalisme) lebih baik karena kepemilikan lebih luas,” kata dia.
