Menanti Rebound Saham BNI Seperti Ketika Krisis 2008
Bursa Saham Indonesia kembali bergejolak pasca pandemi virus corona meluas dan pasien dengan kasus positif bertambah banyak di tanah air. Secara historis gejolak bursa saham ini pernah terjadi pada periode 2008-2009, akibat krisis subprime mortgage di Amerika Serikat. Kala itu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok lebih dari 60% dari posisi tertinggi 2008 di 2.830 hingga posisi terendah 1.111.
Sementara itu secara year to date 2008, IHSG anjlok lebih dari 50% hingga menyentuh 1.355,41 pada 31 Desember 2008.
Sejalan dengan hal itu, bursa mengalami kepanikan. Investor melakukan panic selling, termasuk investor asing yang menarik dananya dan terjadi outflow besar-besaran. Namun, bagi sebagian orang ternyata fenomena tersebut menjadi peluang.
Apalagi bagi yang paham bahwa kondisi tersebut tidak berlangsung lama dan berangsur-angsur bakal normal kembali. Sebagai contoh, pergerakan saham PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI). Pada 2008, saham BNI pun harus terlempar dari level Rp 1.071 per saham hingga menyentuh Rp 393 per saham pada 24 November 2008. Saham BNI terdepresiasi 72,6% hanya dalam 2 bulan.
Kondisi ini berlanjut hingga memasuki 2009, di mana sejak awal tahun hingga pertengahan tahun saham BNI bergerak pada kisaran Rp 600-900 per saham. Namun, pasca Mei 2009, saham BNI bergerak di atas level Rp 1.000 dan perlahan-lahan bangkit dan hampir menyentuh Rp 2.000 per saham.
Kemudian, saham BNI "pulih" dan kembali bergerak di kisaran Rp 2.000/saham pada Maret 2010, dan bangkit ke level Rp 3.081/saham pada Agustus. Di penghujung 2010 pun BNI mencapai level tertinggi sejak krisis menghantam yakni Rp 4.700/saham.
Artinya sejak menyentuh titik terendah, saham BNI bisa meningkat hampir 12 kali lipat hanya dalam kurun waktu sekitar 2 tahun. Ilustrasi sederhana, bila anda berinvestasi di saham BNI dengan nilai Rp 100 juta di 2008, maka kekayaannya akan berlipat hingga lebih dari Rp 1,1 miliar hanya dalam 2 tahun.
Corona 2020
Kondisi sekarang di bursa efek pun tidak jauh berbeda dengan 2008-2009. IHSG tertekan dan menyentuh titik terendahnya sejak 2013, pada penutupan perdagangan Senin (23/03/2020) merosot ke level 3.989. Sejak awal tahun (year to date) IHSG pun tercatat sudah turun 26,56%.
Meski demikian, penurunan terhadap IHSG tidak berlangsung lama, segera setelah mencatat level terendah IHSG pun segera bangkit dan kini, Rabu (8/4) kembali di level 4.626. Begitu juga dengan saham BNI yang sempat menyentuh Rp 3.390/saham saat IHSG meninggalkan 4.000.
Namun tidak butuh waktu lama untuk BNI perlahan tapi pasti menanjak naik, dan ditutup Rp 4.010/saham pada Rabu (9/4). Kenaikan lebih dari 20% hanya dalam hitungan hari.
Pengamat pasar modal Yazid Muammar menyatakan potensi rebound saham BNI termasuk paling cepat dibandingkan bank besar lainnya. Hal ini terlihat dari valuasi betanya yang berada di 1,5 kali. Selain itu, penurunan saham BNI juga masih belum 50% hingga saat ini, sementara pada 2008 penurunan sahamnya pernah lebih dari 75%.
Dia menilai saat ini pun valuasi BNI dengan PBV 0,6 kali sudah termasuk murah dibandingkan bank besar lainnya, apalagi jika melihat rata-rata PBV BNI dalam lima tahun terakhir ada di posisi 1,45%.
PBV adalah penilaian harga saham dengan nilai buku perusahaan. Biasanya, saham yang memiliki rasio PBV besar, punya valuasi tinggi (overvalue) sedangkan saham dengan PBV di bawah 1 kali, punya valuasi rendah alias undervalue.
"Untuk itu strategi masuk ke saham BNI adalah tepat saat ini, dengan cara beli cicil. Besar kemungkinan BNI akan kembali ke PBV normalnya. Lantaran saham-saham blue chip akan lebih dulu diincar investor bermodal besar dan membuat valuasinya juga meningkat," kata Yazid.
Sementara Analis Profindo Sekuritas Dimas Wahyu menyatakan secara teknikal BNI memang tengah fase koreksi, dengan arah penurunan ke kisaran Rp 3.450/saham sebagai bottom fishing (membeli di harga terendah). Sementara target kenaikannya ditargetkan ke level resisten Rp 4.659/saham.
Dengan posisi harga saham BNI ini, Dimas menilai sudah menarik dan layak dikoleksi. Meski secara keseluruhan sektor perbankan akan mengalami tekanan pendapatan bunga bersih dan laba bersih tahun ini. Berbeda dengan krisis 2008, dimana perbankan di Indonesia tidak memegang sindikasi pembiayaan properti ataupun memegang surat utang AS sehingga perbaikan setelah krisis berlangsung cepat.
Pandemi COVID-19 ini bukan hanya negatif bagi industri perbankan, tetapi juga ke pertumbuhan ekonomi global.
"Untuk Asia cuma tiga negara yang survive, yakni China, India, dan Indonesia yang masih akan positif. Biarpun secara makro akan lebih berat," kata Dimas.
Meski perbaikan secara keseluruhan tidak secepat yang diharapkan, dia memproyeksikan ekonomi Indonesia akan kembali normal pada 2021. Karena dunia usaha akan beroperasi secara normal, termasuk industri perbankan.