Kejar Net Zero Emission 2060, AHY Fokus Garap Infrastruktur Hijau
Tantangan dalam mencapai sistem keuangan berkelanjutan berbasis Environmental, Social, and Governance (ESG) semakin kompleks, terutama dalam upaya mencapai target Net Zero Emission pada 2060. Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), mengungkapkan bahwa untuk mendukung pencapaian sasaran zero emission, pemerintah akan fokus pada pembangunan infrastruktur yang berwawasan hijau.
Setiap proyek infrastruktur yang dilaksanakan akan diikuti dengan kebijakan yang mendukung transisi menuju zero emission, dengan harapan dapat menciptakan dampak positif bagi lingkungan dalam jangka panjang.
“Peraturan yang lebih ketat yang mengacu pada terwujudkan komitmen internasional seperti Paris Agreement,” kata AHY dalam CSA Awards 2024: Sistem Keuangan Berkelanjutan Menuju Pasar Modal Hijau di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Kamis (28/11).
Ketua Asosiasi Analis Efek Indonesia (AAEI), David Sutyantoro, menyebut perusahaan-perusahaan korporasi akan menghadapi tantangan besar tahun depan dalam menghadapi komitmen Indonesia untuk mencapai emisi nol bersih (net zero emission) pada 2060 atau bahkan lebih cepat.
Hal itu akan melibatkan berbagai upaya strategis, seperti penerapan Energi Baru dan Terbarukan (EBT), efisiensi energi, serta adopsi praktik bisnis yang lebih ramah lingkungan.
Ia menilai sektor infrastruktur memiliki peran krusial demi menciptakan masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan. Davis mengatakan hal itu berfungsi sebagai pondasi dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Terutama yang berkaitan dengan infrastruktur ramah lingkungan, akses energi bersih, serta pengelolaan air dan sanitasi.
Lebih lanjut David mengatakan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, dunia telah mendorong besar menuju ekonomi hijau melalui kebijakan baru, peraturan yang lebih ketat, dan komitmen internasional seperti Paris Agreement. Namun, ia juga menilai berbagai faktor risiko global menjadi tantangan dalam penerapan ekonomi hijau.
Beberapa tantangan tersebut termasuk ketegangan geopolitik, seperti konflik di Timur Tengah, ketegangan antara AS dan Rusia (Perang Ukraina), frekuensi perdagangan AS-Cina, serta dinamika moneter dan Global Fund. Dalam hal dinamika moneter dan Global Fund, faktor-faktor seperti pelonggaran moneter global, inflasi global yang melambat, suku bunga global yang tinggi, dan tekanan fiskal global diperkirakan akan terus berlanjut.
David memperkirakan ekonomi pada 2025 akan stagnan, dengan gejolak seperti tekanan inflasi dan fiskal di AS, krisis properti di China, dan permintaan domestik yang lemah di Eropa.
Keuangan berkelanjutan adalah konsep yang mengintegrasikan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola, dengan transformasi menuju pasar modal hijau yang didorong oleh kerangka peraturan, permintaan investor, dan tanggung jawab korporat.
Kesadaran akan isu lingkungan di sektor keuangan juga tercermin dari responden yang berinvestasi di pasar saham, di mana 66,1% responden memiliki saham di perusahaan yang mengutamakan praktik ESG. Alasan utama memilih green investment adalah karena keamanan yang ditawarkan oleh perusahaan dengan reputasi baik (75,3%) dan kontribusi untuk menjaga lingkungan (61,8%).
Sebagai catatan, industri keuangan di pasar modal Indonesia telah berkontribusi dalam menciptakan ekonomi hijau, dengan lembaga-lembaga seperti BCA yang mengeluarkan lebih dari Rp 200 triliun untuk green financing, diikuti oleh BMRI Rp 142 triliun, BBRI Rp 83,3 triliun , dan BBNI Rp 70,9 triliun.