Celios Minta PBB Audit Data Pertumbuhan Ekonomi BPS, Apa Kejanggalan Ditemukan?
Lembaga riset Center of Economic and Law Studies atau Celios menyurati Badan Statistik PBB yakni United Nations Statistics Division (UNSD) dan United Nations Statistical Commission untuk mengaudit data pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Hal itu lantaran data pertumbuhan ekonomi yang baru dirilis BPS ditenggarai berbeda dengan kondisi riil.
“Surat yang dikirimkan ke PBB memuat permintaan untuk meninjau ulang data pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2025 |yang sebesar 5,12% secara year on year,” kata Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira dalam keterangan tertulisnya, Jumat (8/8).
Bhima menjelaskan, upaya tersebut dilakukan untuk menjaga kredibilitas data BPS. Sebab, data BPS digunakan untuk berbagai penelitian oleh lembaga akademik, analis perbankan, dunia usaha termasuk UMKM dan masyarakat secara umum.
Indikasi Data BPS Apa yang Berbeda dengan Kondisi Riil?
Celios menjelaskan, salah satu indikasi yang muncul adalah data terkait dengan pertumbuhan sektor industri pengolahan dan investasi atau PMTB.
“Kami coba melihat ulang seluruh indikator yang disampaikan BPS dan menemukan industri manufaktur tumbuh tinggi padahal PMI Manufaktur tercatat kontraksi pada periode yang sama,” kata Bhima.
Berdasarkan data S&P Global, Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Juli 2025 tercatat sebesar 49,2. Angka ini berarti berada di zona kontraksi.
Angka PMI manufaktur pada periode Juli 2025 itu menjadi bulan keempat berturut-turut berada di bawah ambang ekspansi 50,0. Hal ini menunjukkan pelemahan yang konsisten dalam aktivitas manufaktur nasional.
PMI manufaktur Indonesia sebelumnya tercatat di level 46,7 pada April, 47,4 pada Mei, dan 46,9 pada Juni 2025. Meskipun mengalami perbaikan pada Juli 2025, angka PMI manufaktur Indonesia masih berada di bawah 50.
Bhima menambahkan, porsi manufaktur terhadap PDB juga rendah yakni 18,67% dibandingkan kuartal I 2025 yang sebesar 19,25%. “Ini artinya deindustrialisasi prematur terus terjadi,” ujar Bhima.
Selain itu, angka pemutusan hubungan kerja atau PHK massal juga terus meningkat. Bhima menyebut, industri padat karya terpukul oleh naiknya berbagai beban biaya.
“Jadi apa dasarnya industri manufaktur bisa tumbuh 5,68% secara tahunan? Data yang tidak sinkron tentu harus dijawab dengan transparansi” ujar Bhima.
Adanya Anomali
Direktur Ekonomi Celios, Nailul Huda juga menyebutkan bahwa ketidakpercayaan terhadap data BPS didasari pada anomali yang terjadi terkait dengan data historis.
“Pertumbuhan ekonomi triwulan II yang lebih tinggi dibandingkan triwulan yang ada momen Ramadan-Idul Fitri terasa janggal,” kata hUda.
Menurut Huda, hal tersebut dikarenakan tidak seperti tahun sebelumnya dimana pertumbuhan triwulanan paling tinggi merupakan periode dengan adanya momen Ramadan-Idul Fitri. Huda mengatakan, pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2025 hanya tumbuh 4,87% secara tahunan.
“Jadi cukup janggal ketika pertumbuhan triwulan II mencapai 5,12%,” ujar Huda.
Huda menambahkan, tidak ada momen yang membuat peningkatan konsumsi rumah tangga meningkat tajam pada kuartal II 2025. Selain itu,indeks keyakinan konsumen atau IKK juga melemah dari posisi Maret 2025 sebesar 121,1 menjadi 117,8 pada Juni 2025.
BPS Harus Tunduk pada Standar Statistik Internasional
Sebagai lembaga pemerintah yang tunduk pada standar statistik internasional, Celios menilai BPS perlu bebas dari kepentingan politik, transparan, dan menjaga integritas data.
Direktur Kebijakan Fiskal Celios Media Wahyudi Askar mengatakan jika terjadi tekanan institusional atau intervensi dalam penyusunan data oleh BPS, hal tersebut bertentangan dengan Fundamental Principles of Official Statistics yang diadopsi oleh Komisi Statistik PBB.
Media mengatakan, data ekonomi yang tidak akurat, khususnya jika pertumbuhan dilebih-lebihkan dapat menyesatkan pengambilan kebijakan. “Bayangkan, dengan data yang tidak akurat, pemerintah bisa keliru menunda stimulus, subsidi atau perlindungan sosial karena menganggap ekonomi baik-baik saja,” ujar Media.
Celios mengharapkan Badan Statistik PBB segera melakukan investigasi teknis atas metode penghitungan PDB Indonesia. Media juga mendorong UNSD dan UN Statistical Commission membentuk mekanisme peer-review yang melibatkan pakar independen, serta dukungan reformasi transparansi di tubuh BPS.
“Keinginan masyarakat itu sederhana, agar pemerintah Indonesia menghitung pertumbuhan ekonomi dengan standar SDDS Plus sehingga datanya dapat dipertanggungjawabkan,” kata Media.
