Kala Jaminan Sosial Jadi Penolong di Tengah Hempasan Badai PHK
“Kira-kira boleh enggak aku pinjam uang?” Nugraha-bukan nama sebenarnya-mengingat kalimat yang harus diucapkan kala meminjam uang ke beberapa teman usai terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Ia tak pernah menyangka tiba-tiba terkena PHK. Bekerja lima tahun dan sudah berstatus sebagai karyawan tetap di salah satu perusahaan swasta di Jakarta, pria berusia 31 tahun asal Boyolali ini mengaku sempat linglung.
Tak ada persiapan dana darurat saat itu. Ia pun sempat terpaksa meminjam sana-sini untuk bertahan hidup di Jakarta. Untungnya, seorang mantan rekan kantor akhirnya menginformasikan soal layanan program BP Jamsostek seperti Jaminan Hari Tua (JHT) atau Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
“Kawan kantor ngasih tau kalau saya bisa mencairkan uang di BPJS untuk jaga-jaga, jadinya ada uang transit dan ada uang tunggu,” ujar Nugraha kepada Katadata.co.id, Kamis (27/11).
Ia pun dapat sedikit menarik nafas lega. Setelah mendapatkan informasi bahwa uang gajinya selama bekerja ternyata disisihkan untuk BPJS Ketenagakerjaan, Nugraha akhirnya mengajukan pencairan melalui BP Jamsostek. Ia menyebut prosesnya cukup cepat, hanya membutuhkan sekitar satu minggu hingga dana masuk ke rekening.
Ia hanya perlu mengisi data, mengunggah dokumen, dan mengikuti wawancara singkat secara daring melalui aplikasi Jamsostek Mobile atau JMO. Dalam wawancara itu, ia mengaku petugas hanya menanyakan identitas dan alasan pengajuan.
“Caranya gampang, uangnya cepat cair. Bagus kok, menurut saya. Tidak ribet untuk cairin uangnya,” ujar Nugraha.
Dari lima tahun masa kerjanya, Nugraha menerima uang sekitar Rp 22 juta. Dana itu menjadi penopang hidupnya selama masa pencarian kerja. Ia pun kini telah memperoleh pekerjaan baru.
Dalam lima bulan tanpa penghasilan, ia memanfaatkan dana tersebut untuk membayar kos, makan, bahkan tetap mengirim uang kepada orang tuanya di kampung karena keluarga tak tahu bahwa Nugraha telah di PHK.
Ribuan Pekerja Kehilangan Pekerjaan
Nugraha tidak sendiri. Di luar sana, ribuan pekerja menghadapi nasib serupa usai karena efisiensi. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) sepanjang Januari hingga Oktober 2025 jumlah tenaga kerja yang terkena PHK mencapai 70.244 pekerja. Pada Oktober saja, jumlahnya mencapai 1.180 pekerja harus kehilangan pekerjaan mereka.
Apabila melihat DKI Jakarta gelombang pemutusan hubungan kerja dalam periode yang sama di provinsi ini mencatat 5.149 pekerja terdampak PHK. Dari data tersebut, lonjakan terbesar terjadi pada Mei 2025 dengan 762 pekerja kehilangan pekerjaan, disusul Februari 2025 dengan 754 pekerja masuk daftar PHK.
Koordinator Advokasi BPJS Watch sekaligus Pakar Jaminan Sosial dan Ketenagakerjaan Timboel Siregar mengatakan, pekerja yang terkena PHK sebenarnya berhak atas program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Melalui program ini, menurut dia, mereka bisa memperoleh tiga manfaat sekaligus. Pertama, uang tunai sebesar 60% dari upah dengan batas maksimal Rp 5 juta per bulan selama enam bulan, serta akses pelatihan dan informasi pasar kerja. Ini artinya, korban PHK dapat memanfaatkan JKP untuk mendapatkan bantuan pendapatan bulanan hingga enam bulan.
“Selagi dia mencari kerja bisa membantu para korban PHK ini tetap bisa mempertahankan daya beli,” kata Timboel ketika dihubungi Katadata.co.id, Jumat (28/11).
Kedua, pekerja juga perlu terus didorong untuk kembali ke pasar kerja melalui pelatihan dan peningkatan keterampilan agar siap memasuki pasar kerja baru. Menurutnya, program-program pelatihan memang harus diperkuat.
Hal tersebut, menurut dia, uga harus dibarengi dengan upaya membuka lapangan kerja dan menciptakan iklim investasi yang lebih baik, sehingga lebih banyak investor masuk dan tersedia lebih banyak pekerjaan formal
“Nah sektor informal sekarang lebih tinggi jumlahnya, oke dibuka lapangan pekerjaan di sektor informal, Timboel Siregar.
Ketiga, Timboel menekankan pentingnya memastikan pekerja di sektor informal mendapatkan perlindungan, mulai dari upah layak, jaminan sosial yang menyeluruh, perlindungan K3, hingga jam kerja yang jelas. Hal ini perlu dilakukan melalui intervensi APBN agar pekerja informal bisa memperoleh jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan perlindungan lainnya.
Ia juga mengaku pemerintah perlu mengambil beberapa langkah, seperti membuka lapangan kerja, menahan laju PHK, memperluas kepesertaan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), serta mengedukasi dan meyakinkan pekerja yang terkena PHK agar mengikuti pelatihan dan memanfaatkan informasi pasar kerja.
Hingga September 2025, jumlah tenaga kerja yang terdaftar sebagai peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan mencapai 42 juta orang. Adapun sebanyak 20,66 juta orang tercatat sebagai peserta nonaktif.
Kepesertaan ini mencakup berbagai program perlindungan sosial, mulai dari Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKm), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), hingga Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Lalu hingga September 2025, Jakarta menjadi provinsi dengan jumlah peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan terbanyak nasional, yakni sebanyak 7,86 juta orang atau 19% dari total peserta.
Adapun menurut data Kementerian Ketenagakerjaan, pada kuartal ketiga atau Juli 2025, sebanyak 855.023 perusahaan yang terdaftar sebagai peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan. Jumlah tersebut terus naik sebab perusahaan peserta program jaminan sosial ini telah bertambah selama empat bulan berturut-turut sejak April 2025.
Klaim JHT Meningkat
Seiring dengan itu, pengajuan klaim JHT tercatat naik seiring meningkatnya kasus PHK. Deputi Bidang Komunikasi BPJS Ketenagakerjaan Erfan Kurniawan menyampaikan bahwa BPJS Ketenagakerjaan telah membayarkan manfaat JHT kepada 3,2 juta pekerja hingga akhir Oktober 2025 atau naik 22% secara tahunan (yoy). Total nilai yang dibayarkan mencapai Rp 47,5 triliun.
Ia pun memastikan proses pencairan JHT berlangsung cepat dan aman, terutama melalui kanal digital seperti aplikasi Jamsostek Mobile. Demi memudahkan peserta, BPJS Ketenagakerjaan menyediakan berbagai kanal resmi pengajuan klaim Jaminan Hari Tua.
Peserta dengan saldo JHT di bawah Rp 15 juta yang sudah melakukan pengkinian data dapat mengajukan klaim langsung melalui aplikasi Jamsostek Mobile (JMO). Sementara itu, peserta dengan saldo JHT di atas Rp 15 juta dapat mencairkan lewat kanal fisik di kantor cabang atau melalui LAPAK ASIK (Pelayanan Tanpa Kontak Fisik) di situs resmi BPJS Ketenagakerjaan.
“BPJS Ketenagakerjaan mengajak seluruh peserta untuk memanfaatkan kemudahan layanan resmi yang telah disediakan dan menghindari penggunaan jasa perantara dalam bentuk apa pun, karena hal tersebut berisiko terhadap keamanan data pribadi,” kata Erfan ketika dihubungi Katadata.co.id, Jumat (28/11).
BPJS Ketenagakerjaan menyediakan sejumlah program perlindungan sosial, mulai dari Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKm), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), hingga Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Perluas Kepersertaan
Besarnya manfaat yang bisa diterima membuat jangkauan kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan perlu diperluas. Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, mengatakan total aset BPJS Ketenagakerjaan hingga September 2025 mencapai Rp 888,96 triliun, dengan mayoritas berasal dari peserta formal.
“Meski begitu, potensi dari segmen pekerja informal masih sangat besar karena sekitar 58% dari jumlah pekerja di Indonesia bekerja di sektor informal,” ucap Ogi dalam keterangan tertulis, dikutip Sabtu (29/11).
Di samping itu, Deputi Bidang Komunikasi BPJS Ketenagakerjaan, Erfan Kurniawan, dalam upaya mendorong terwujudnya Univesal Coverage Jamsostek, BPJS Ketenagakerjaan tidak bisa berjalan sendiri. Ia mengaku BPJS Ketenagakerjaan terus memperkuat kolaborasi dengan pemerintah dan perusahaan untuk memperluas cakupan kepesertaan.
“Bersama pemerintah pusat dan daerah, kami mendorong integrasi program jaminan sosial dalam regulasi, perizinan, hingga berbagai program pengentasan kemiskinan sehingga semakin banyak pekerja yang terlindungi,” ucap Erfan.
Ia juga menyampaikan BPJS Ketenagakerjaan juga bekerja sama dengan berbagai perusahaan untuk memastikan seluruh pekerja terdaftar sesuai ketentuan. Hal itu mulai dari memperluas cakupan perlindungan bagi pekerja rentan melalui beragam inisiatif tanggung jawab sosial perusahaan.
Melalui sinergi itu, kata Erfan, perluasan kepesertaan dapat dilakukan secara lebih masif, terukur, dan berkelanjutan sehingga semakin banyak pekerja terlindungi dari risiko yang dapat muncul sepanjang perjalanan karier mereka.
Lebih jauh, ia pun menegaskan BPJS Ketenagakerjaan terus memperkuat literasi peserta melalui edukasi. Langkah itu bertujuan agar masyarakat memahami bahwa Jaminan Hari Tua (JHT) adalah perlindungan jangka panjang yang disiapkan untuk masa depan, bukan sekadar dana cadangan ketika terkena PHK.
Upaya literasi ini dilakukan melalui kampanye digital, sosialisasi langsung, serta kolaborasi dengan perusahaan dan pemerintah. BPJS Ketenagakerjaan juga mulai mendorong pemahaman jaminan sosial sejak dini lewat dunia pendidikan. Sejak 2024 hingga sekarang, sosialisasi Modul Muatan Jaminan Sosial telah dilakukan di 11 wilayah dan menjangkau 233 sekolah tingkat SMA/SMK/MA.
Menurut Erfan, kesadaran mengenai pentingnya jaminan sosial idealnya tumbuh sejak bangku sekolah dasar. Dengan begitu, generasi muda memahami sejak awal bahwa setiap pekerja baik formal maupun informal berhak atas perlindungan dari berbagai risiko pekerjaan.
“Dengan pondasi literasi yang kuat sejak awal, masyarakat akan lebih siap dan lebih sadar akan pentingnya jaminan sosial ketenagakerjaan sebagai bagian dari perjalanan kesejahteraan hidup mereka,” kata Erfan.
