Pulihkan Pendapatan, Garuda Beralih Fokus ke Bisnis Kargo
PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk berupaya memperbaiki kinerja operasional penerbangan. Salah satunya dengan meningkatkan porsi pendapatan dari lini bisnis kargo, dari semula 15% menjadi 40%.
Upaya itu dilakukan dalam rangka mengoptimalisasi pengelolaan sejumlah lini bisnis potensial demi meningkatkan pendapatan usaha dalam jangka pendek. Hal itu disampaikan manajemen Garuda Indonesia dalam keterangan tertulis memberi penjelasan kepada Bursa Efek Indonesia (BEI), Kamis (27/5).
"Kami akan membuka penerbangan langsung khusus kargo guna mendukung daya saing komoditas ekspor nasional dan mengembangkan UMKM," ujar manajemen Garuda Indonesia.
Perusahaan penerbangan milik pemerintah ini juga akan mengoptimalisasi layanan penyewaan atau charter kargo, mengoperasikan pesawat kargo penumpang (passenger frieghter), serta mengembangkan layanan pengiriman barang 'Kirim Aja' berbasis aplikasi digital.
Selain itu, emiten berkode saham GIAA ini juga berupaya memaksimalkan kerja sama dengan mitra usaha guna mendorong peningkatan pendapatan. Tak hanya itu, perusahaan terus meluncurkan sejumlah program promosi.
Garuda Indonesia mengaku terus melakukan upaya penyelarasan penawaran dan permintaan (supply and demand). Salah satunya, dilakukan pada aspek pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM), melalui program pensiun dini yang ditawarkan secara sukarela kepada karyawan.
Perusahaan juga terus berkomunikasi intensif dengan para pemangku kepentingan. Hal itu guna memastikan upaya percepatan pemulihan kinerja perusahaan berjalan maksimal.
Sebelumnya, beredar rekaman pernyataan Direktur Utama Garuda Irfan Setiaputra kepada karyawan perusahaan yang menyebutkan bahwa kondisi kinerja keuangan Garuda sedang memprihatinkan.
Disebutkan, pendapatan yang dikantongi oleh maskapai milik pemerintah itu tidak sebanding dengan jumlah yang harus dibayarkan kepada pihak-pihak di luar Garuda. Jumlah utang Garuda juga semakin membengkak di tengah pengurangan jumlah armada hingga 50% di masa pandemi.
"Fakta yang ada, sampai hari ini utang kita itu sudah mencapai Rp 70 triliun dan setiap bulan kita akan menambah terus utang lebih dari Rp 1 triliun," kata Irfan kepada karyawan Garuda.
Irfan mengatakan, beberapa kewajiban yang harus dikeluarkan oleh Garuda di antaranya untuk sewa pesawat, perawatan (maintenance), biaya avtur, dan pegawai. Khusus biaya karyawan, jumlah pengeluarannya mencapai US$ 20 juta atau sekitar Rp 287 miliar per bulan. Berbagai beban biaya ini membuat arus kas perusahaan menjadi negatif.
Kondisi tersebut tidak bisa berlangsung terus sambil berharap jumlah penumpang kembali normal seperti pada saat sebelum adanya Covid-19. Untuk itu, perusahaan harus melakukan restrukturisasi yang menyeluruh dengan berbasis pada jumlah pesawat yang akan digunakan oleh Garuda.
Dengan melihat pergerakan jumlah penumpang saat ini, maka manajemen akan memangkas jumlah pesawat sekitar 50%. Implikasi dari pengurangan jumlah pesawat yang signifikan tersebut, mempengaruhi infrastruktur dan jumlah pegawai di Garuda. Artinya, jumlah infrastruktur dan pegawai saat ini, tidak fit dengan jumlah pesawat yang hanya sekitar 70 armada tersebut.
"Tidak ada pilihan lain untuk eksekusi dan menjalankan sebuah aksi yang tidak disukai oleh siapapun, yaitu melakukan upaya-upaya menurunkan jumlah pegawai," kata Irfan.
Menanggapi rekaman audio yang beredar tersebut, manajemen Garuda membenarkan bahwa rekaman itu merupakan diskusi internal perusahaan yang dilakukan manajemen bersama karyawan.
Segala informasi yang disebutkan dalam rekaman audio dilakukan dengan tujuan memberi gambaran awal kepada karyawan dalam pengambilan keputusan terkait program pensiun dini.