Mitigasi Perubahan Iklim, Dunia Butuh Modal US$ 1,4 Triliun per Tahun
Perhetalan Konferensi para Pihak terkait Perubahan Iklim atau Conference of the Parties ke-28 membawa angin segar terkait pendanaan perubahan iklim. Pada hari keempat pelaksanaan COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab, telah disepakati pendanaan sekitar US$ 57 miliar baik yang terkait perubahan iklim maupun transisi energi bersih.
Salah satu yang menjadi sorotan adalah dana loss and damage atau komitmen pendanaan terhadap kehilangan dan kerusakan akibat perubahan iklim mencapai US$725 juta yang diajukan berbagai negara. Loss and damage tersebut bisa merupakan kompensasi, bantuan keuangan, dan dukungan teknis kepada negara-negara yang rentan dan memiliki kapasitas terbatas untuk menghadapi atau pulih dari dampak perubahan iklim.
Harus diakui, kebutuhan pendanaan terkait perubahan iklim sangatlah mahal. Senior Partner Bain & Company, Katrina Cutchell, mengungkapkan hasil risetnya, setidaknya diperlukan investasi terkait pendanaan transisi senilai US$ 1,4 triliun sampai dengan 2030 per tahun dan akan meningkat menjadi US$ 2,3 triliun setelahnya setiap tahun untuk mencapai target penurunan suhu bumi pada ambang batas 1,5 derajat celcius pada 2050 mendatang.
Menurut Katrina, sektor energi menjadi penyumbang terbesar 76% emisi gas rumah kaca global yang dikontribusi bukan hanya pembangkit listrik, tetapi pembangkit semua jenis energi. Dia juga menekankan perlunya ada keterlibatan regulator untuk mulai mewajibkan rencana transisi dalam beberapa industri, peningkatan pengawasan dan fokus pada kualitas rencana tersebut dan penilaian kualitas rencana tersebut oleh investor, lembaga keuangan, serta terobosan penggunaan teknologi yang menghasilkan inovasi.
“Hal ini membuat transisi energi menjadi kunci dan jelas bahwa ini memerlukan perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya,” ujar Katrina, dalam paparannya di acara Global Transition Finance Summit di Singapura, awal November lalu.
Tantangan Pendanaan Transisi
CEO Singapore Exchange (SGX) Group, Loh Boon Chye, pada forum itu mengibaratkan pendanaan transisi terkait perubahan iklim laiknya petualangan epik, sebuah perjalanan ke perairan yang belum dijelajahi. “Kita semua adalah penumpang di kapal yang sama dalam perjalanan ini, menavigasi jalan kita melalui transisi dan transformasi,” kata Boon Chye.
Karenanya, dia menekankan pentingnya kerja sama antara berbagai pihak untuk mendukung pendanaan transisi, terutama di Asia, yang memainkan peranan yang penting karena merupakan penghasil lebih dari separuh emisi gas rumah kaca global.
“Dengan kita bekerja bersama, kita dapat menentukan arah ke depan, fokus pada penghematan biaya dan membawa kita ke tujuan menuju emisi nol bersih.”
Pasar modal misalnya, kata dia, turut punya peran yang sentral dalam mendukung pendanaan transisi. SGX, yang bertindak sebagai bursa multi-aset yang serba ada, menawarkan beragam instrumen keuangan, melibatkan saham, surat utang, mata uang, dan komoditas.
“Ketika berbicara tentang keuangan berkelanjutan dan perubahan iklim, jalur menuju emisi nol bersih (net zero emissions) bersifat sangat penting,” tuturnya.
Kedua, mendorong ekosistem keuangan dalam memfasilitasi aliran modal ke perusahaan yang telah memulai jalur emisi bersih dengan pembiayaan transisi.
Upaya lain yang juga dilakukan SGX ialah dengan membantu perusahaan tercatat melalui kerangka kerja untuk pengungkapan bagi perusahaan yang sedang menjalani transisi, dapat membuat data mereka dapat diakses melalui SGX ESGenome, sebuah platform pengungkapan yang dirancang untuk mendukung perusahaan dalam proses pengungkapan environment, social, and governance (ESG).
Pendanaan Berkelanjutan
Sementara itu, Vice President, finance and risk management, Asian Development Bank, Roberta Casali dalam tulisannya di Jurnal Sustainable Policy Institute OMFIF bertajuk “Financing climate transition in Asia Pacific” menuturkan, untuk mendorong transisi pendanaan iklim diperlukan mobiliasi keuangan.
Saat ini, total aset dana kelolaan swasta global mencapai sekitar $210 triliun, pertanyaan kuncinya adalah bagaimana menarik mereka untuk berinvestasi dalam iklim dan pembangunan berkelanjutan di pasar-pasar yang sedang berkembang.
“Pemerintah perlu menyediakan kebijakan yang jelas untuk mendorong investasi berkelanjutan dengan mendirikan rencana transisi, target, dan kebijakan yang koheren,” kata Roberta.
Dalam konteks di Indonesia misalnya juga melakukan berbagai upaya dalam mewujudkan transisi energi, utamanya dari sisi keuangan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memproyeksikan, butuh biaya sekitar US$ 281 miliar dalam transisi energi.
“Jadi ini sangat besar dan mahal, kalau untuk mencapai emisi nol bersih pada 2060, biayanya bisa dua kali lipat, lebih dari 500 miliar,” kata Sri Mulyani, dalam keterangan tertulis, Rabu (6/12).
Menkeu memberikan gambaran melalui kasus nyata yang sedang dilakukan Indonesia, yaitu upaya memensiundinikan 660 megawatt Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Untuk mengimplementasikan agenda uji coba tersebut, terdapat banyak tantangan, terutama dari segi pembiayaan. Menkeu menilai peranan pembiayaan campuran atau blended finance menjadi sangat penting untuk mendukung terwujudnya transisi energi.
Menurut Bendahara Negara, peran pembiayaan itu bisa berasal dari filantropi, swasta, Multilateral Development Bank, termasuk dengan uang negara dan BUMN menjadi sangat penting untuk dapat mewujudkan komitmen tersebut.