Harmas Cabut Permohonan PKPU, Bukalapak Minta Hakim Lanjutkan Sidang


PT Bukalapak.com Tbk atau BUKA berharap majelis hakim melanjutkan proses persidangan dan memberikan putusan, meski Harmas Jalesveva mencabut permohonan PKPU atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Harmas mengajukan permohonan PKPU Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada 10 Januari 2025. Dalam permohonan ini disebutkan adanya utang jatuh tempo BUKA Rp 107,4 miliar yang berasal dari kerugian materiil yang diderita oleh Harmas akibat dari batalnya penyewaan 12 lantai gedung One Belpark oleh Bukalapak.
Lalu Bukalapak secara resmi mengajukan permohonan PKPU terhadap Harmas Jalesveva ke Pengadilan Niaga Jakarta pada 17 Februari. BUKA menuntut Harmas mengembalikan booking deposit Rp 6,46 miliar atas kerja sama tersebut.
Dalam persidangan yang digelar pada 19 Februari, agenda utama yakni penyerahan kesimpulan dari masing-masing pihak sebelum memasuki tahap pembacaan putusan. Namun Harmas memutuskan untuk mencabut permohonan PKPU yang telah diajukan.
Bukalapak mengatakan perusahaan mempertahankan posisi hukum dalam sidang lanjutan permohonan PKPU yang diajukan oleh Harmas Jalesveva. BUKA berharap majelis hakim melanjutkan proses persidangan dan memberikan putusan atas perkara ini.
“BUKA menilai putusan dari majelis hakim sangat penting untuk memberikan kepastian hukum dan menjaga transparansi bagi dunia usaha, terutama dalam konteks penyelesaian perkara hukum tersebut,” demikian dikutip dari keterangan pers Bukalapak, Jumat (21/2).
Dalam persidangan sebelumnya, saksi ahli yang dihadirkan oleh Bukalapak menegaskan sengketa antara kedua belah pihak belum memasuki titik akhir, karena masih terdapat upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali atau PK ke Mahkamah Agung.
Dengan adanya proses hukum yang masih berjalan, unsur pembuktian sederhana dalam PKPU yang saat ini di proses oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menjadi tidak terpenuhi.
Anggota Komite Eksekutif BUKA Kurnia Ramadhana menegaskan pencabutan permohonan PKPU oleh Harmas semakin memperjelas lemahnya dasar hukum permohonan tersebut.
“Sejak awal, kami telah melihat bahwa permohonan PKPU yang diajukan oleh Harmas tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Fakta-fakta yang terungkap di persidangan membuktikan tuduhan terhadap BUKA tidak berdasar,” kata Kurnia.
“Oleh karena itu, kami tetap berharap majelis hakim tetap memberikan putusan atas perkara ini, meskipun Harmas telah mencabut permohonannya,” Kurnia menambahkan.
Kurnia menekankan pencabutan permohonan tidak seharusnya dijadikan celah untuk menghindari tanggung jawab hukum atau penyalahgunaan upaya hukum yang ada tanpa dasar yang jelas.
“Kami meminta agar majelis hakim tetap membacakan putusan atas perkara ini demi memberikan kepastian hukum yang jelas bagi BUKA. Sebagai perusahaan terbuka, kami memiliki tanggung jawab besar kepada para pemangku kepentingan, terutama para pemegang saham, untuk memastikan bahwa setiap proses hukum yang kami hadapi memiliki kepastian dan transparansi,” ujar dia.
Kronologi Perseteruan Bukalapak vs Harmas
Versi Bukalapak
Pada Januari, Harmas Jalesveva mengajukan PKPU terhadap Bukalapak melalui Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan Nomor Perkara 2/Pdt.Sus PKPU/2025/PN Niaga Jkt.Pst.
Hermas mengklaim Bukalapak memiliki utang berdasarkan Putusan Kasasi Nomor 2461 K/PDT/2024.
Sekretaris Perusahaan Bukalapak Cut Fika Lutfi menyampaikan permohonan PKPU oleh Harmas tidak tepat, karena didasarkan pada permasalahan sengketa perdata murni yang merupakan ranah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan ranah Hukum Acara Perdata Umum.
"Perseroan tidak tepat jika dikatakan sebagai debitor yang memiliki utang yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih dengan dalil yang mendasarkan pada sengketa perdata murni yang masih dalam proses Peninjauan Kembali atau PK," kata Cut Fika dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia atau BEI, pada Januari (20/1).
Persidangan perdana atas Permohonan PKPU yang diajukan oleh Harmas terhadap Bukalapak digelar pada 14 Januari. Agendanya yakni pemeriksaan legal standing dari masing-masing pihak.
Bukalapak mengatakan permohonan PKPU yang diajukan oleh Harmas sejak awal tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Salah satu kejanggalan yang mencolok adalah pencantuman Direktorat Jenderal atau Ditjen Pajak sebagai kreditur lain dalam permohonan PKPU untuk memenuhi persyaratan adanya dua kreditur.
Padahal, yurisprudensi tetap Mahkamah Agung atau MA secara tegas menyatakan pajak tidak termasuk dalam kategori utang yang dapat dijadikan dasar permohonan PKPU.
Selain itu, dalam persidangan, Harmas tidak pernah menghadirkan kreditur lain yang sah yakni Ditjen Pajak, untuk mendukung klaimnya. “Hal ini memperkuat keraguan terhadap keabsahan permohonan PKPU Harmas,” demikian dikutip dari keterangan pers Bukalapak, Jumat (21/2).
Selain itu, tuduhan bahwa BUKA memiliki utang jatuh tempo tidak berdasar dan tidak dapat dibuktikan oleh Harmas.
Sebaliknya, fakta menunjukkan Bukalapak justru merugi akibat wanprestasi Harmas yang gagal menyediakan ruang perkantoran di Gedung One Belpark.
Berdasarkan kesepakatan dalam Letter of Intent atau LoI yang ditandatangani pada Desember 2017, Harmas gagal menyelesaikan pembangunan ruang perkantoran sesuai tenggat waktu dan gagal menyerahkan ruangan sesuai spesifikasi yang telah disepakati.
Oleh karena itu, Bukalapak mengajukan permohonan PKPU terhadap Harmas untuk meminta pengembalian dana booking deposit dan security deposit Rp 6,46 miliar, yang belum dikembalikan.
Kurnia menyampaikan permohonan PKPU itu didasarkan pada fakta bahwa Harmas tidak mampu menyelesaikan kewajiban dalam penyediaan ruang perkantoran kepada BUKA sesuai perjanjian yang tertuang dalam beberapa LoI yang disepakati pada 8 Desember 2017, 15 Maret 2018, dan 3 Mei 2018.
Sesuai perjanjian, gedung yang disewakan seharusnya siap untuk diserahkan dengan kondisi yang layak pada Maret hingga Juni 2018. Sebagai bagian dari kesepakatan, Bukalapak telah membayarkan booking deposit Rp 6,46 miliar pada periode Januari hingga Mei 2018.
“Dengan pembayaran ini, seharusnya Harmas sebagai pihak pemberi sewa telah siap menyediakan ruang perkantoran yang disepakati. Namun, hingga waktu yang disepakati, Harmas belum mampu menunaikan kewajiban tersebut. “Harmas terus meminta perpanjangan waktu untuk menyelesaikan kewajibannya tanpa kepastian,” demikian dikutip dari keterangan pers, pada 17 Februari.
Bukalapak memutuskan untuk mengakhiri kerja sama secara resmi pada 2 September 2019. Keputusan diambil setelah memberikan kesempatan berulang kali kepada Harmas untuk menyelesaikan tanggung jawab.
Sesuai dengan butir 39 dalam LoI, penyewa berhak mengakhiri perjanjian apabila pemberi sewa melalaikan kewajiban. Dalam hal ini, terbukti dengan tidak tersedianya ruang perkantoran sesuai kesepakatan.
Sebagai tindak lanjut dari pengakhiran kerja sama, BUKA beberapa kali mengajukan somasi kepada Harmas, yakni pada Januari dan Februari 2021, untuk menuntut pengembalian dana deposit Rp 6,46 miliar.
“Namun, permintaan tersebut diabaikan tanpa adanya tanggapan atau penyelesaian dari pihak Harmas,” demikian dikutip.
Kurnia menegaskan bahwa permohonan PKPU diambil untuk memastikan keadilan bagi perusahaan dan menciptakan kepastian hukum bagi dunia usaha di Indonesia.
“Kami telah memberikan kesempatan yang cukup bagi Harmas untuk menyelesaikan kewajiban secara baik-baik. Namun, hingga saat ini tidak ada itikad baik untuk mengembalikan dana deposit yang telah kami bayarkan. Oleh karena itu, kami menempuh jalur hukum dengan mengajukan permohonan PKPU agar Hakim Pengadilan Niaga dapat menilai dan mengambil keputusan yang adil,” ujar Kurnia.
Kurnia menambahkan kewajiban yang belum dilaksanakan oleh Harmas dapat dikategorikan sebagai utang yang telah jatuh tempo, yang secara hukum harus diselesaikan.
“Fakta-fakta yang kami ajukan sudah jelas. BUKA telah membayar sesuai kesepakatan, tetapi Harmas gagal memenuhi tanggung jawabnya dan tidak mengembalikan dana deposit,” Kurnia menambahkan.
Versi Harmas
Dalam keterangan pers yang disampaikan ke sejumlah media, kuasa hukum Harmas menyampaikan hubungan hukum antara perusahaan dengan Bukalapak sudah diuji dan diputus secara keperdataan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta di tingkat banding, hingga MA di tingkat kasasi.
Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 575/Pdt.G/2022/PN. Jkt Sel Tanggal 12 April 2022 melalui situs Kepaniteraan MA menyebutkan Bukalapak diminta membayar ganti rugi kepada Harmas Rp 107 miliar.
Selain itu, sudah ada teguran dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (aanmaning) terhadap isi Putusan a quo. Kuasa hukum Harmas menyatakan tagihan kepada Bukalapak adalah sah dan berkekuatan hukum tetap (inkracht), karena dalam Putusan a quo dari tingkat pertama sampai kasasi, salah satu amarnya yakni menghukum Bukalapak membayar Rp 107 Miliar.
Pengertian uang dalam konsep kepailitan atau PKPU tidak hanya didasarkan kesepakatan dari kedua pihak, tetapi segala kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Rupiah maupun asing, dikategorikan sebagai utang.
Jika merujuk putusan a quo, Bukalapak memiliki kewajiban untuk membayarkan kewajibannya kepada Harmas akibat pemutusan sewa sepihak.
Kuasa hukum Harmas menilai dalil tagihan yang disampaikan oleh Bukalapak dalam permohonan PKPU adalah tidak berdasar secara hukum. Sebab, tuntutan tagihan sudah diperiksa dalam Rekonvensi dan ditolak dalam Putusan a quo, bahkan dengan alasan-alasan seperti non-adimpleti contracts telah diperiksa dan dipertimbangkan oleh majelis hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Mereka menilai jumlah tuntutan utang yang diajukan oleh Bukalapak Rp 6,4 miliar tidak sebanding dengan kewajiban perusahaan untuk membayar Rp 107 miliar kepada Harmas.
“Jika menggunakan logika yang dijadikan dalil oleh Bukalapak bahwa putusan yang memenangkan Harmas dan memerintahkan Bukalapak membayar Rp 107 miliar bukan sebagai utang, bagaimana mungkin BUKA bisa mengeklaim tagihan Rp 6,4 miliar yang sudah dipertimbangkan, diputus tolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan bisa digunakan sebagai dasar tagihan untuk mengajukan Permohonan PKPU?” demikian keterangan kuasa hukum Harmas.
Dengan demikian, kuasa hukum Harmas menilai apa yang dilakukan Bukalapak terhadap Harmas merupakan abuse of process atau penyalahgunaan prosedur hukum atau menggunakan proses hukum untuk menyalahi putusan hukum yang telah berkekuatan hukum tetap dan mengikat, serta vexatious litigation atau permohonan atau gugatan melalui pengadilan dengan itikad buruk.
“Jika merujuk pertimbangan hakim dalam Putusan a quo, pembatalan perjanjian yang tidak mendapatkan persetujuan dari pihak lain dalam perjanjian, maka disebut pemutusan perjanjian secara sepihak,” demikian dikutip.
Apabila hal tersebut menimbulkan kerugian pihak lain tersebut, maka pihak yang memutuskan secara sepihak dikategorikan sebagai suatu perbuatan melawan hukum, Dengan begitu, pengesampingan Pasal 1266 KUHPerdata tidak dapat dikesampingkan dan harus diajukan pembatalan melalui pengadilan.
Keterlambatan yang selalu didalilkan oleh Bukalapak sudah diperiksa dan dipertimbangkan dalam Putusan a quo. Kuasa hukum Harmas menyatakan tidak ada keterlambatan yang terjadi, kecuali karena akibat ketidakmampuan Bukalapak untuk memberikan gambar blueprint ruangan yang akan disewa sesuai dengan tenggat waktu yang disepakati.
Seluruh fakta tersebut sudah diperiksa dan dipertimbangkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.