Kumpulkan 40 Konglomerat, Jokowi Minta Devisa Ekspor Dibawa ke RI
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta para konglomerat dan pengusaha besar nasional untuk membawa devisa hasil ekspornya (DHE) ke dalam negeri. Tujuannya agar devisa itu dapat membantu penguatan nilai tukar rupiah, memperkecil defisit transaksi berjalan. dan menjaga ketahanan ekonomi domestik.
Permintaan tersebut disampaikan Jokowi saat bertemu dengan sekitar 40 konglomerat di Istana Bogor, Jawa Barat, Kamis (26/7) malam. Mereka memiliki usaha dari berbagai sektor yang berinvestasi besar dan orientasi ekspor. Tampak hadir dalam pertemuan selama 2,5 jam itu pemilik Grup Djarum R. Budi Hartono, bos Grup Indofood Anthoni Salim, pemilik Rajawali Group Peter Sondakh, dan bos Wings Group William Katuari.
Lalu ada pula pemilik Medco Group Arifin Panigoro, Chief Executive Officer (CEO) Sritex Iwan Lukminto, Presiden Direktur Adaro Energy Garibaldi Thohir, hingga pemilik Panasonic Gobel Indonesia yaitu Rachmat Gobel. Hadir pula Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani dan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Rosan Perkasa Roeslani.
Sedangkan Jokowi didampingi Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, serta Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong.
Dalam pertemuan itu, menurut Hariyadi dan Rosan, Jokowi dan Sri Mulyani sempat meminta para pengusaha membawa devisa hasil ekspornya untuk disimpan di dalam negeri. Tujuannya menjaga ketahanan rupiah dan memperkecil defisit transaksi berjalan.
"Menurut versi Presiden, ada 15 persen selisih (devisa) yang seharusnya dikembalikan. Jadi yang masuk baru 85 persen," kata Hariyadi, usai pertemuan. Sebanyak 15 persen selisih devisa itu bukan disembunyikan pengusaha di luar negeri. Namun, rata-rata digunakan untuk modal kerja serta pembayaran utang luar negeri. "Jadi masuk akal juga (penjelasan Jokowi)."
Namun, menurut Hariyadi, salah satu isu yang penting adalah mendorong ekspor yang saat ini masih lambat. Oleh sebab itu, dia meminta pemerintah juga memperbaiki peraturan agar lebih ramah terhadap investasi.
Contohnya, regulasi di Kementerian Kelautan dan Perikanan yang membuat ekspor surimi kurang maksimal. "Produsen terpaksa bahan baku dari impor gula, seperti itu membuat perolehan devisa kecil," katanya.
Rosan juga mengaku Jokowi menanyakan kesediaan para pengusaha untuk membawa devisa hasil ekspornya. Meski begitu, pengusaha beralasan perbankan tempat menyimpan devisa itu belum tentu mau membiarkan dananya dipindahkan. "Jadi ada usulan, kami cari bank asing yang ada cabangnya di Indonesia," kata Rosan.
Sedangkan Sri Mulyani mengaku akan berbicara lebih lanjut dengan pengusaha untuk membawa devisa masuk ke Indonesia. Selain memperkuat ekonomi dan menekan defisit transaksi berjalan, devisa tersebut dapat digunakan kembali untuk berinvestasi. "Agar membawa devisanya dan berinvestasi atau meningkatkan kapasitas kegiatan usaha mereka."
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini melihat, tidak ada halangan besar untuk membawa kembali dana tersebut ke Tanah Air. Namun, menurutnya para pengusaha masih terhambat persepsi jika mereka masih memerlukan devisa tersebut.
"Bank Indonesia dan Kemenkeu akan menjaga stabilitas dan kontinuitas kegiatan ekonomi sehingga memperkecil aspek spekulasi," kata dia.
Secara lebih rinci, Sri Mulyani menjelaskan, agenda pertemuannya adalah penjelasan pemerintah mengenai kondisi perekonomian terkini. Kondisi ekonomi dunia mengalami ketidakpastian karena berbagai kebijakan yang dilakukan negara maju dan pengaruhnya ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. "Bapak Presiden ingin mengajak para pengusaha ini untuk tetap fokus menjalankan kegiatan ekonominya, utamanya yang orientasi ekspor," katanya.
Selain itu, Presiden mendengar masukan dari para pengusaha untuk meningkatkan kegiatan ekonomi dan menjalin sinergi dengan pemerintah untuk mengatasi gejolak ekonomi global.
Di satu sisi, menurut Sri Mulyani, pemerintah sudah mendorong simplifikasi perizinan yang dilakukan Menko Perekonomian melalui sistem perizinan online terpadu atau Online Single Submission (OSS). Selain itu, berbagai insentif dalam bentuk perpajakan, bea cukai, dan perizinan lainnya.
Namun, di sisi lain, pengusaha mengeluhkan masalah investasi dan ekspor. "Ada yang bilang untuk menstabilkan harga kelapa sawit dengan adopsi policy B20 dan B30, bahkan di Brasil sampai B100. Implementasinya seperti apa?" kata Sri Mulyani.
Menurut Sri Mulyani, pengusaha juga mempersoalkan perizinan industri yang berorientasi ekspor, seperti batu bara, kelapa sawit, karet, hingga manufaktur.