Tiga Jurus Pemerintah Hadapi Tantangan Ekonomi 2017
Pemerintah perlu bersiap menghadapi tantangan perekonomian tahun depan. Dengan harga komoditas yang masih rendah, perlambatan ekonomi Cina, dan kebijakan proteksionisme presiden terpilih Amerika Serikat (AS), Donald Trump, kondisi ekonomi tahun 2017 diperkirakan bakal lebih berat.
Ekonom sekaligus Rektor Universitas Atmajaya A. Prasetyantoko memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan tidak akan naik signifikan. Alasannya, faktor global seperti terpilihnya Trump akan turut menekan ekonomi Indonesia. Hal ini terjadi karena Trump berencana menurunkan pajak korporasi dan meningkatkan belanja. Alhasil, beban fiskal AS semakin besar.
(Baca: Penerimaan Negara Terancam Makin Seret Tahun Depan)
Untuk mengatasi hal tersebut, bank Sentral AS, yaitu The Federal Reserve, harus menaikan suku bunganya. Hal ini akan menyebabkan keluarnya dana dari berbagai penjuru dunia untuk kemudian masuk ke AS. "Tahun depan akan menghadapi dinamika yang tidak pasti. Mungkin 2017 perbaikan ekonomi tidak akan naik signifikan," ujarnya dalam acara DBS Asian Insight Conference 2016 bekerja sama dengan Katadata di Jakarta, Kamis (17/11).
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara menjelaskan, setidaknya ada tiga langkah yang telah disiapkan pemerintah untuk menghadapi tantangan ekonomi tahun 2017. Pertama, kebijakan fiskal yang kredibel.
Menurut dia, sebenarnya upaya ini sudah mulai dilakukan pemerintah dengan memotong subsidi menjadi tepat sasaran dan menggunakan dananya untuk pembangunan infrastruktur. Namun, pembangunan infrastruktur tentunya memerlukan dana dan bisa diperoleh dari penerimaan pajak.
Untuk mencapai penerimaan pajak yang baik, pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty). Suahasil mengatakan, kebijakan ini bukan bertujuan mengumpulkan penerimaan tahun ini, namun, tujuan utamanya adalah membangun hubungan baru dengan basis data yang baru dan lebih lengkap antara pemerintah dengan wajib pajak.
(Baca: ASEAN Siapkan Penyangga Ekonomi Hadapi Guncangan Efek Trump)
Jadi, hasil kebijakan ini akan berguna di tahun depan dan tahun-tahun mendatang. "Jika kredibel, investor dan masyarakat akan lebih yakin. Dengan demikian, pertumbuhan bisa dicapai, karena sumber pertumbuhan hanya dari konsumsi dan investasi," ujar Suahasil.
Selain itu, untuk melengkapi kredibilitas fiskal ini, pemerintah akan mereformasi sistem perpajakan melalui amendemen Undang-Undang Perpajakan, khususnya Pajak Penghasilan (PPh). Suahasil mengakui, amendemen UU ini akan menyentuh tarif pajak. Namun, dia enggan menyatakan apakah pemerintah akan menurunkan tarif PPh tersebut atau tidak.
Yang jelas, dia menegaskan, pemerintah tidak akan melakukan 'perang' tarif pajak dengan negara lain. Suahasil mengatakan, pemerintah tidak mungkin menetapkan pajak serendah-rendahnya. Sebab, kondisi geografis yang berbentuk kepulauan membutuhkan banyak dana untuk membangun infrastruktur. Yang diutamakan pemerintah adalah memberikan sistem yang lebih baik, penggunaan pajak yang benar, dan masyarakat lebih patuh membayar pajak.
Kedua, penetapan kebijakan moneter yang tepat. Namun, Suahasil tidak menjelaskan secara rinci bentuk kebijakan tersebut. Ia hanya berharap, kebijakan moneter dapat segera dirasakan oleh masyarakat, terutama investor, agar iklim investasi Indonesia semakin menarik.
(Baca: Pemerintah Pacu Belanja, Ekonom: Pembiayaannya Bagaimana?)
Ketiga, reformasi struktur regulasi di Indonesia. Menurut Suahasil, pemerintah harus langsung masuk ke sektor rill untuk mengatur kemudahan-kemudahan dan pemberian insentif kepada industri utama. Salah satu caranya dengan terus mengeluarkan paket kebijakan ekonomi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Paket ekonomi ke-14 yang merupakan paket teranyar, mengatur tentang e-commerce. Dengan potensi e-commerce yang cukup besar, manfaat ekonominya akan dirasakan secara bertahap. "Ini resep pertumbuham ekonomi jangka menengah dan jangka panjang nasional," ujarnya.