Rupiah Makin Tertekan Jelang Pidato Gubernur The Fed

Martha Ruth Thertina
24 Agustus 2016, 15:58
Rupiah
Arief Kamaludin|KATADATA

Kurs rupiah merosot lebih dari seratus poin dalam tiga hari perdagangan pekan ini. Depresiasi berlanjut seiring penantian investor terhadap pidato Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve/ The Fed) Janet Yellen pada simposium kebijakan moneter dan ekonomi di Jackson Hole, Wyoming, Jumat, 26 Agustus 2016.

Mengacu pada kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), rupiah berada di level 13.119 per dolar Amerika Serikat pada perdagangan Jumat pekan lalu, sebelum melorot 78 poin ke level 13.197 pada Senin pekan ini, lalu kemarin melemah 19 poin ke posisi 13.216 . Hari ini rupiah lagi-lagi merosot 36 poin ke level 13.252 per dolar Amerika.                          

Menjelang pertemuan di Jackson Hole yang akan dihadiri ekonom dan bankir dari bank sentral di seluruh dunia tersebut, Wakil Gubernur The Fed, Stanley Fisher mengungkapkan data inflasi dan pengangguran hampir mendekati target. Dua indikator tersebut merupakan dasar kebijakan suku bunga The Fed. (Baca: BI dan The Fed: Ekonomi Global Hadapi Tiga Tantangan Besar).

Fisher mencatat, angka pengangguran berada di bawah lima persen mendekati estimasi angka kenaikan lapangan kerja. Namun, inflasi masih di bawah target dua persen. Total inflasi belanja konsumsi personal (Personal Consumption Expenditure/PCE) berada di level satu persen dan inflasi inti belanja konsumsi personal (core PCE) sudah berada di level 1,6 persen. Meski begitu, inflasi inti indeks harga konsumen (core consumer price index inflation rate) telah melewati dua persen.

Kenaikan suku bunga telah lama diprediksi investor. Hal itu seiring dengan membaiknya data-data ekonomi Amerika. Prediksi kenaikan sempat menguat akhir Mei lalu, saat Yellen dalam pidatonya di Harvard University, Massachusets, menyatakan adanya kemungkinan kenaikan di bulan-bulan mendatang. Investor sempat memperkirakan kenaikan bakal terjadi pada Juni atau Juli. Namun data penurunan pertumbuhan lapangan kerja di bulan Mei tampaknya menahan langkah The Fed. (Baca: Ada Dua Ketidakpastian Ekonomi, BI Ragu Longgarkan Moneter).

Sejauh ini, para pembuat kebijakan diketahui masih memiliki keinginan beragam terkait arah kebijakan moneter Amerika. Seperti terlihat dalam risalah rapat The Fed tanggal 26-27 Juli, mereka membutuhkan lebih banyak data-data ekonomi sebelum menentukan arah kebijakannya. Adapun rapat The Fed akan kembali digelar pada 21 September. Saat ini, suku bunga The Fed berada di level 0,25 persen – 0,5 persen.

Kepala Ekonom Bank Central Asia, David Sumual mengatakan rencana kenaikan suku bunga The Fed menyebabkan sentimen negatif investor terhadap asset-aset non-dolar. Akibatnya, terjadi pelemahan kurs mata uang negara-negara emerging market. Ia memprediksi kurs rupiah cenderung melemah sepekan ini. Namun, ia yakin kurs masih akan bergerak di kisaran yang diinginkan Bank Indonesia. “Akhir tahun Rp 13.300 sesuai fundamental,” ucapnya.  

Grafik: Pergerakan Rupiah Terhadap Dolar Amerika 4 Januari-18 Agustus 2016
Pergerakan Rupiah Terhadap Dolar Amerika 4 Januari-18 Agustus 2016 (Sumber: Databoks)

Dia berharap kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) yang berlaku sejak Juli lalu bisa menolong penguatan rupiah di tengah bayang-bayang kenaikan suku bunga The Fed. Repatriasi dari wajib pajak bisa membantu supply valas di dalam negeri. (Baca: Pengusaha Janji Ada Banjir Dana Repatriasi di Akhir September).

David memperkirakan dana masuk dari para wajib pajak bakal kelihatan di akhir tahun, sebab periode pertama tax amnesty baru berakhir September 2016 dan wajib pajak terkait memiliki tenggat hingga Desember 2016 untuk mentransfer dananya. “Mudah-mudahan dana itu bisa mengimbangi sentimen negatif terkait The Fed,” ucapnya.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...