BI Tak Lagi Agresif Mengubah Suku Bunga

Muchamad Nafi
8 April 2016, 15:20
Bank Indonesia
Arief Kamaludin|KATADATA

Masih dua pekan lagi Bank Indonesia menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG). Namun, jauh-jauh hari Guberur BI Agus Martowardojo menyatakan lembaganya akan lebih berhati-hati dalam mengambil kebijakan moneter, terutama terkait suku bunga acuan atau BI Rate.

Menurut Agus, BI masih mengkaji kondisi perbankan yang sedang memasuki transisi untuk menyesuaikan tingkat bunganya. Otoritas moneter ini akan lebih hati-hati pada RDG pada 20 April mendatang. Sebagai pertimbangan utama yaknit terkait kondisi ekonomi domestik dan luar negeri. (Baca: BI Rate Turun 3 Kali, BI Menilai Kebijakannya Belum Efektif).

“Apabila kami akan melakukan perubahan, akan kami lakukan dengan sangat hati-hati. Berbeda dengan bulan sebelumnya yang kami bilang ada peluang untuk melonggarkan moneter,” kata Agus usai menandatangani nota kesepahaman (MOU) mengenai pengembangan dan pendalaman pasar keuangan di Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat, 8 April 2016.

Dalam tiga bulan pertama tahun ini, BI memang cukup agresif dalam memangkas BI Rate. Setelah bertahan pada level 7,5 persen selama sebelas bulan, BI menurunkan 25 basis poin menjadi 7,25 persen pada 14 Januari 2016. Sebulan kemudian posisi BI Rate kembali diturunkan menjadi 7 persen. Terakhir, dengan nilai yang sama, suku bunga acuan menurun ke level 6,75 persen pada 17 Maret lalu.

Agus menyatakan saat ini BI akan fokus pada kerangka operasi moneter bukan lagi kebijakan moneter. Karena dengan strategi operasi moneter, transmisi kebijakan ke perbankan diharapkan bisa efektif. Dengan begitu, bunga deposito ataupun kredit perbankan bisa turun tanpa mengganggu sistem. Salah satunya, dengan meyakinkan pasar uang antar bank (PUAB) berjalan baik. (Baca: Ekonomi Terjaga, BI Rate Berpeluang Kembali Turun 0,25 Persen).

Sebelumnya, Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan mengatakan semestinya penurunan bunga perbankan memang jangan dilakukan secara cepat. Suku bunga yang berkurang dengan drastis berpotensi mengancam stabilitas perbankan karena bisa mendorong nasabah berpaling ke instrumen investasi surat utang. Alhasil, Dana Pihak Ketiga perbankan pun dapat tergerus. “Akan ada dampak negatif dari beberapa hal, seperti terjadinya crowding out,” kata Anton.

Walau akan lebih berhati-hati dalam menentukan langkah moneter terkait suku bunga, BI menilai kesehatan rupiah saat ini cukup terjaga. Setidaknya bila hal tersebut mengacu pada tekanan kondisi global, terutama atas sentimen kenaikan suku bunga Amerika atau Fed Rate. Menurut Agus, komite pasar terbuka federal (FOMC) melihat ekonomi Amerika masih melambat sehingga kenaikan Fed Rate kemungkinan hanya dua kali dalam tahun ini.

Sebelumya Negeri Paman Sam itu berencana memperbesar suku bunga acuan hingga empat kali. Artinya kebijakan moneter bank sentral Amerika, The Fed, tidak seagresif perkiraan awal, sehingga kondisi ekonomi global berpeluang risk on. Dengan begitu, dana asing masuk (capital inflow) masih akan membanjiri negara yang pasarnya tengah berkembang (emerging market).

“Secara umum, kami lihat hal ini baik bagi BI, karena Indonesia inflasinya sudah terjaga. Nanti kami lihat neraca dagang tunjukan kondisi yang lebih baik. Ini jadi kesempatan untuk pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan,” ujar Agus. (Lihat pula: BI Berpeluang Akhiri Rezim Bunga Tinggi).

Sebenarnya, dalam kajian Dana Moneter Internasional (IMF), capital inflow ke negara berkembang sudah berkurang sejak 2010. Namun menurut Agus, minimnya likuiditas dari asing hanya terjadi di negara berkembang di Amerika Latin atau Eropa Timur. Sementara di Indonesia, pandangan investor masih baik. Pasar modal pun akan meningkat seiring dengan naiknya optimisme swasta  terhadap perekonomian nasional.

Optimisme ini juga diperlihatkan oleh pemerintah. Dalam Sidang Kabinet Paripurna kemarin, pemerintah mengubah beberapa indikator makro ekonomi dengan angka-angka yang menunjukkan keyakinan tinggi. Misalnya, asumsi inflasi menurun dari 4,7 persen menjadi 4 persen.

Sementara itu level rupiah menguat dari 13.900 per dolar Amerika menjadi 13.400 per dolar. Adapun pertumbuhan ekonomi diperkirakan tetap hingga akhir tahun yaitu 5,3 persen. Meskipun, dari sisi penerimaan diperkirakan ada penurunan karena harga minyak yang masih rendah. Perubahan ini akan dibawa ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk disahkan menjadi Anggaran Pendapatan dan Belanja Perubahan 2016.

Reporter: Desy Setyowati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...