Setelah Jokowi Bicara, Jonan Cabut Larangan Go-Jek
KATADATA - Menteri Perhubungan Ignasius Jonan mencabut keputusannya untuk melarang layanan angkutan umum berbasis online. Langkah itu dilakukan setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) angkat bicara menyoal larangan yang dikeluarkan Jonan.
Dalam keterangan tertulis yang diterima Katadata, Kementerian Perhubungan menjelaskan Sesuai Undang-Undang 22/1999 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, kendaraan roda dua tidak dimaksudkan untuk angkutan publik. Namun realitas di masyarakat menunjukkan adanya kesenjangan yang lebar antara kebutuhan transportasi publik dan kemampuan menyediakan angkutan yang layak dan memadai. Kesenjangan itu kemudian diisi oleh Go-Jek dan layanan transportasi berbasis aplikasi lainnya.
Karena itu Kementerian Perhubungan mempersilahkan ojek dan transportasi umum berbasis aplikasi tetap beroperasi sebagai solusi sampai transportasi publik dapat terpenuhi dengan layak. Terkait dengan aspek keselamatan di jalan raya, Go-Jek dan layanan transportasi berbasis online dianjurkan berkonsultasi dengan Korlantas Polri.
Sebelumnya Menteri Perhubungan Ignasius Jonan mengirimkan surat kepada Kapolri meminta adanya tindakan terhadap kendaraan pribadi yang digunakan sebagai angkutan umum. Dalam suratnya bertanggal 9 November 2015, Jonan menyebutkan berbagai layanan pemesanan kendaraan online seperti Go-Jek, Go-Box, Grabbike, Uber, Blu-Jek dan Lady-Jek. Alasannya, pengoperasian kendaraan pribadi untuk angkutan umum tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Selain itu, melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 74/2014.
Tindakan Jonan ini memunculkan kontroversi. Sampai-sampai Presiden Joko Widodo menyatakan akan memanggil Jonan. "Saya segera panggil Menhub," kata Jokowi dalam cuitannya yang diungggah ke akun Twitter @jokowi, sekitar pukul 11.00 WIB, Jumat (18/12). Berbeda dengan Jonan, Presiden menilai layanan ojek masih dibutuhkan masyarakat. Meski perlu penataan, dia menganggap, peraturan tersebut jangan sampai membuat rakyat susah. "Ojek dibutuhkan rakyat. Jangan karena aturan rakyat jadi susah. Harusnya ditata."
Saat ditanya wartawan di Istana Bogor, Jokowi menjelaskan selain dibutuhkan masyarakat, aturan yang dibuat jangan sampai mengekang inovasi. Apalagi aplikasi ini dibuat anak-anak muda Indonesia yang kreatif. Menurut Jokowi saat ini yang perlu dibuat adalah aturan transisi supaya keselamatan dan keamanan lebih terjamin.
Mantan Wakil Presiden Boediono juga ikut angkat bicara mengenai pelarangan Go-Jek. Dalam cuitan di akun twitter, Boediono meminta Go-Jek jangan dilarang. "Pak Jonan, beri Go-Jek dan lain-lain waktu untuk menata. Jangan dilarang. Ini suara orang tua. Salam," tulis Boediono.
Sebelumnya, para ekonom juga menyoroti dan mengkritik keras kebijakan pelarangan layanan kendaraan umum berbasis online oleh Kementerian Perhubungan. Ekonom Senior dan pendiri Creco Consulting Raden Pardede mengatakan teknologi yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas tidak bisa dilarang. Sebaliknya teknologi yang merugikan masyarakat luas harus diatur atau dilarang oleh pemerintah. Menurut Raden, Indonesia harusnya menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi yang cepat. "Kalau tidak ya ketinggalan. Bagai katak dalam kuali berisi air yang dipanaskan pelan-pelan," kata Raden.
Ekonom Senior Destri Damayanti mengatakan di tengah ekonomi dengan daya beli masyarakat yang lemah, semestinya pendapatan masyarakat bawah harus ditingkatkan. Keberadaan layanan kendaraan berbasis online sangat membantu meningkatkan daya beli masyarakat. "Tahun depan ekonomi kita masih berat," kata Destry. "Keberadaannya (layanan kendaraan berbasis online) akan sangat membantu mendorong daya beli."
Alasan Menteri Perhubungan bahwa layanan angkutan umum online tidak sesuai peraturan juga dinilai tidak tepat. Ekonom Universitas Indonesia Berly Martawardaya mengatakan peraturan harusnya menyesuaikan inovasi dan bisnis model baru. Ia mencontohkan Filipina yang memperbolehkan Uber beroperasi dengan alasan memberikan manfaat besar pada masyarakat luas. Menurut Berly, larangan beroperasi bagi angkutan online tidak hanya berdampak pada Go-Jek atau Grabbike, tapi juga ojek pangkalan yang sudah puluhan tahun beroperasi.
Layanan kendaraan berbasis online selama ini menjadi transportasi alternatif bagi masyarakat di kota-kota besar. Go-Jek misalnya, kini telah memiliki 200 ribu pengemudi di lima kota besar. Di Jakarta saja ada sekitar 100 ribu pengemudi. Aplikasi layanan ojek ini sudah diunduh lebih dari 6 juta kali.
Ekonom Universitas Gadjah Mada Rimawan Pradiptyo menilai layanan transportasi online tidak bisa dilarang selama pemerintah belum bisa menyediakan angkutan umum yang memadai. Ia membandingkan layanan transportasi online dengan penjual bensin eceran. Menurut Rimawan penjual bensin eceran muncul karena tidak semua lokasi terdapat SPBU. Apalagi sebagian besar SPBU ada di pulau Jawa. Jadi walaupun melanggar hukum, keberadaan penjual bensin eceran dibiarkan pemerintah. "Sama dengan Go-Jek. Pertanyaan saya, memang pemerintah menyediakan sarana transportasi publik apa?"