BI Peringatkan Pemerintah Akan Perlambatan Cina dan Bunga Amerika
KATADATA - Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengingatkan untuk tetap mewaspadai pergerakan ekonomi global pada tahun depan. Perlambatan ekonomi Cina diperkirakan masih akan berlanjut. Rencana Cina memasukan renminbi sebagai aset cadangan internasional (Special Drawing Rights/SDRs) perlu dicermati dengan hati-hati.
Dari sisi nilai tukar, menurut Agus, masuknya renminbi sebagai SDRs akan membuat capital account Cina terbuka dan pengelolaan moneternya menjadi independen. Efeknya, renminbi bisa menguat. Namun, kemungkinan besar Cina tidak akan membiarkan mata uangnya menguat terlalu tinggi. Karena itu, Agus memprediksi Cina akan mendevaluasi kembali kursnya.
Prediksi ini didasarkan pada aspek kompetitif mata uang. Bila renmibi terlalu kuat, daya saing mata uanga Cina ini akan kalah dibandingkan yen Jepang dam won Korea Selatan. Bila renminbi atau yuan ini benar-benar kembali didevaluasi, dampaknya akan besar terhadap Indonesia. “Ketika kemarin didevaluasi dua sampai tiga persen, dampak ke dunia besar. Kita harus siap kalau renminbi melemah,” kata Agus dalam acara Kompas 100 CEO Forum di JCC, Jakarta, Kamis, 25 November 2015.
Selain kondisi Cina, faktor global lain yang bisa mempengaruhi ekonomi Indonesia ialah perubahan Fed Rate. Bila suku bunga acuan bank Amerika Serikat ini jadi naik akan berimbas pada nilai tukar rupiah. Dana asing yang keluar atau capital outflow juga diprediksi meningkat. (Baca juga: Jusuf Kalla: BI Perlu Evaluasi Bunga BI Rate).
Sebagai gambaran, Agus mengungkapkan dana asing yang masuk atau capital inflow pada kuartal ketiga 2014 mencapai Rp 181 triliun. Dana tersebut masuk dalam bentuk investasi asing langsung (FDI) atau pun portfolio. Pada periode yang sama tahun ini, nilainya hanya Rp 43 triliun. “Ini akan membuat balance of payment kita negatif dan menurunkan cadangan devisa. Jadi, risiko ke depan masih akan ada tekanan dan reversal,” tutur dia.
Di luar kedua faktor tersebut, melemahnya harga minyak dunia diprediksi masih berlanjut hingga tahun depan. Harga komoditas pun masih dalam tren penurunan. Tahun ini, harga komoditas turun 15 persen, lebih tinggi dibandingkan perkiraan BI yang hanya menyusut 11 persen. Adapaun tahun depan, Agus memperkirakan harga komoditas turun hingga lima persen. Dampaknya, kondisi ini akan menekan pendapatan per wilayah yang berujung pada perekonomian nasional.
“Kondisi perekonomian Amerika, perlambatan Cina, harga komoditas, dan sudden reversal akan menghadang. Jadi, hati-hati ekonomi dunia belum tentu akan sebaik perkirakan. Prediksi tumbuh 3,5-3,6 persen, itu pun bisa lebih rendah,” ujar Agus. Untuk itu, ia menegaskan kebijakan BI akan konsisten dan hati-hati. Begitu juga dalam menetapkan kebijakan moneter. (Baca pula: Tahan BI Rate, BI Pilih Turunkan GWM untuk Memacu Kredit).
Prediksi serupa juga disampaikan oleh Tony Prasetyantono. Ekonom dari Universitas Gadjah Mada ini menyatakan kenaikan Fed Rate bisa melemahkan rupiah. Konsumen dan produsen khawatir situasi krisis finansial akan terulang seperti 2008. Karena itu, tugas utama BI adalah menjaga stabilitas dan kredibilitas rupiah. “Itu tidak mudah karena Indonesia rentan capital outflow. Saya mengerti kalau BI Rate belum bisa turun dari 7,5 persen,” kata Tony.
Menurutnya, suku bunga acuan BI bisa turun, tapi risikonya rupiah kemungkinan melemah. Bila terjadi seperti itu, akan berpotensi menggerus cadangan devisa. Karena itu, BI perlu berhati-hati menanggapi permintaan pemerintah untuk menurunkan bunga acuan seperti yang sering disampaikan Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution juga Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Tony berpendapat, stabilitas rupiah merupakan prioritas bank sentral. Pasalnya, rasa percaya diri di level ini cukup rendah. Masyarakat cenderung menunda belanja dan menaruh uangnya dalam bentuk dana pihak ketiga. “Lebih senang mengamankan asetnya dalam bentuk dolar, emas, atau deposito di bank,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner Otoritas jasa Keuangan Muliaman D. Hadad menyatakan pertumbuhan ekonomi tahun ini lumayan bagus. Di tengah gejolak ekonomi global, ekonomi Indonesia masih lebih baik dibandingkan dengan negara berkembang atau emerging market lainnya seperti Brazil, Turki, dan Afrika Selatan.
Kondisi tersebut merupakan refleksi dari banyak faktor yang relatif bagus. Misalnya, konsumsi rumah tangga meningkat. Demikian pula dengan konsumsi pemerintah. Hasilnya, inflasi tahun ini (year to date) 2,16 persen. “Terendah sepanjang RI berdiri. Ini bisa menjadi modal untuk mendorong stabilitas pertumbuhan ekonomi lebih sehat,” kata Muliaman.