Rupiah Tergantung Sidang the Fed Nanti Malam
KATADATA ? Kinerja perdagangan yang menunjukkan perbaikan pada Agustus tidak memberikan pengaruh terhadap penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Kurs rupiah, sebagaimana dengan mata uang dunia lainnya menunggu keputusan rapat Federal Open Market Committee (FOMC) the Fed yang akan digelar nanti malam.
Pada perdagangan hari ini, kurs rupiah ditransaksikan di rentang Rp 14.440-Rp14.450 per dolar AS. Ini sekaligus titik terendah rupiah sejak terjadi krisis 1998, dan sejak awal tahun ini rupiah sudah turun sekitar 17 persen.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, sekarang investor tidak melihat indikator ekonomi yang ada di dalam negeri. Jadi, meskipun secara fundamental ekonomi Indonesia membaik, itu tidak menunjukkan bakal terjadi penguatan nilai tukar rupiah.
?Yang jadi beban itu eksternal, the Fed (bank sentral AS). Itu juga yang terjadi hari ini, karena pasar fokus pada rapat FOMC 16-17 September,? kata Josua kepada Katadata, Rabu (16/9).
Badan Pusat Statistik (BPS) kemarin mengumumkan nilai ekspor Agustus sebesar US$ 12,7 miliar atau naik 10,8 persen dari bulan sebelumnya. Sedangkan dari sisi impor, mengalami kenaikan 21,7 persen menjadi US$ 12,3 miliar. Dengan demikian neraca perdagangan mengalami surplus US$ 433,8 juta.
Neraca transaksi berjalan pun diperkirakan berada di posisi antara 2,3 persen-2,5 persen pada kuartal III-2015. Demikian pula dengan inflasi yang masih sesuai dengan proyeksi Bank Indonesia (BI) 4 persen plus minus 1 persen.
Masih tingginya tekanan yang berasal dari eksternal, terutama the Fed, diakui Gubernur BI Agus Martowardojo. Menurut dia, bukan Indonesia saja yang mengharapkan FOMC segera mengakhiri suasana ketidakpastian ini. Meskipun banyak survei menyebutkan suku bunga AS akan naik, dan the Fed sudah menyatakan akan melakukan perubahan.
The Fed, Agus mengatakan, pun telah memberitahu bahwa keputusan mereka tersebut tergantung pada data-data ekonomi di negaranya. Meski juga memperhatikan dampak kebijakan ke perekonomian global. ?Tapi yang punya kewenangan mereka,? kata Agus seusai rapat kerja dengan Komisi XI DPR tadi malam.
?Tentunya kebijakan yang diambil pasti yang terbaik untuk mereka.? (Baca: BI Belum Akan Mengubah Kebijakan Moneternya)
Dengan situasi seperti ini, Agus mengatakan, tidak menguntungkan bagi perekonomian Indonesia. Terutama dalam upaya untuk menurunkan defisit neraca transaksi berjalan. Ini merupakan dampak dari penghitungan kembali (repricing) yang dilakukan pasar.
Pertama, repricing di pasar uang, yakni ketika dolar AS menguat terhadap seluruh mata uang, kemudian diikuti oleh devaluasi yuan. Kedua, repciring aset seperti surat utang atau saham, sehingga banyak dana asing yang keluar (capital outflow) dari investasi portofolio. Ketiga, repricing di pasar produk komoditas.
?Ini kondisi eksternal yang kami anggap penuh ketidakpastian. Indonesia kurang beruntung, karena selama ini mengandalkan sumber daya alam (SDA) mentah,? kata dia.
Kendati demikian, dia optimistis, defisit neraca transaksi berjalan akan membaik sejalan dengan reformasi struktural yang dijalankan pemerintah saat ini. Termasuk dengan mengeluarkan sejumlah kebijakan di bidang ekonomi beberapa waktu lalu. ?Meskipun tidak bisa dilakukan dengan cepat,? ujar dia.