Krisis Irak Bisa Bikin Ekonomi RI Ketar-Ketir
KATADATA ? Krisis politik yang terjadi di Irak dikhawatirkan akan mempengaruhi perekonomian Indonesia. Persoalannya, krisis yang berkepanjangan bakal menyebabkan harga minyak mentah dunia melonjak.
Bagi Indonesia, kenaikan harga minyak mentah berarti akan menambah beban impor dan berisiko terhadap anggaran subsidi bahan bakar minyak. ?Kenaikan harga minyak akan berdampak, karena Indonesia sekarang sudah net importer minyak,? kata Aldian Taloputra, ekonom PT Mandiri Sekuritas, saat dihubungi Katadata, Jumat (27/6).
Irak merupakan negara produsen minyak ke-8 terbesar dunia. Per hari produksi minyak Irak mencapai 3,1 juta barel (mbpd) atau 3,4 persen dunia pada 2012. Harga minyak mentah jenis brent pada 19 Juni lalu sempat tembus US$ 115 per barel, level tertinggi dalm sembilan bulan terakhir.
Pemerintah dan DPR memang telah mengubah anggaran subsidi energi sebesar 24 persen menjadi Rp 350,31 triliun dalam APBN-P 2014. Anggaran subsidi ini mencapai 19 persen dari total belanja negara 2014 yang mencapai Rp 1.842,5 triliun. Subsidi tersebut tersebut terdiri dari subsidi BBM, LPG, dan BBN sebesar Rp 246,49 triliun serta subsidi listrik Rp 103,81 triliun.
Namun alokasi subsidi tersebut dikhawatirkan tidak akan mencukupi, apalagi kenaikan harga juga dibarengi dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Meskipun kuota subsidi dikunci sebesar 46 juta kiloliter pada tahun ini.
?Kombinasi melemahnya rupiah dan naiknya harga minyak akan menambah biaya impor BBM dan berisiko menyebabkan pengeluaran anggaran subsidi yang lebih tinggi,? sebut riset Mandiri Sekuritas.
Budi Hikmat, Direktur Direktur Bahana TCW Investment, mengatakan selama ini alokasi APBN selalu tidak tepat sasaran, terutama yang berasal dari subsidi BBM. ?Ini yang menyebabkan rupiah melemah, karena subsidi BBM yang membengkak,? kata dia.
Dia menjelaskan, subsidi naik menyebabkan pemerintah mesti mencari pembiayaan melalui penerbitan surat utang negara (SUN). Alhasil ini membuat tingkat imbal hasil (yield) obligasi Indonesia naik sehingga menyebabkan crowding out dipasar keuangan Indonesia.
Bank Indonesia (BI) juga mengakui jika tekanan impor minyak telah menyebabkan rupiah melemah. Menurut Mirza Adityaswara, Deputi Gubernur Senior BI, defisit neraca perdagangan diakibatkan masih tingginya impor minyak. Jika terus berlanjut, defisit neraca perdagangan akan membuat defisit neraca transaksi berjalan bertambah bengkak.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, selama periode Januari-April 2014, defisit perdagangan minyak Indonesia mencapai US$ 8,8 miliar. Tingginya defisit ini menjadi penyebab utama terjadinya defisit perdagangan