Kritik Omnibus Law, Faisal Basri: Pemerintah Salah Diagnosa
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance atau Indef, Faisal Basri menuding pemerintah salah diagnosa saat menyusun Rancangan Undang-undang (RUU) Ombibus Law Cipta Kerja dengan dalih meningkatkan investasi.
Pasalnya, menurut Faisal realisasi investasi Indonesia sebenarnya tidak terlalu buruk. Dia pun menduga RUU tersebut sebagai pesanan dari kelompok elit atau oligarki untuk menyedot sumber daya alam yang ada di Tanah Air.
"Ada dimensi yang di luar kemampuan kita untuk menata ini semua dan omnibus law itu salah kaprah," kata Faisal dalam diskusi daring di Jakarta, Senin (27/7).
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Realisasi investasi Indonesia pada 2019 sebesar Rp 809,6 triliun. Angka ini melampaui target yang sebesar Rp 792 triliun.
Selama 5 tahun, realisasi investasi Indonesia naik hingga 48,4% dari realisasi 2015 yang sebesar Rp 545,4 triliun. Sementara jika dibandingkan dengan 2018, realisasi naik 12,24% dari Rp 721,3 triliun.
Kontribusi terbesar berasal dari penanaman modal asing (PMA) yang sebesar Rp 423,1 triliun, naik 10% dibandingkan tahun sebelumnya Rp 392,7 triliun. Sementara realisasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) sebesar Rp 386,5 triliun, naik 17,6% dibandingkan tahun sebelumnya Rp 328,6 triliun.
Menurut Faisal, seharusnya untuk menggenjot investasi pemerintah harus menyelesaikan beberapa permasalahan yang selalu menjadi penghambat seperti banyaknya kasus korupsi dan proses perizinan yang berbelit-belit.
Penyelesaian masalah ini lebih penting dibandingkan harus mengeluarkan omnibus law yang dinilai sangat merugikan. Faisal mencontohkan, RUU Omnibu Law telah memunculkan Undang-Undang Mineral dan Batubara (Minerba) yang baru dan tidak membatasi luas kepemilikan lahan.
Selain itu, eksploitasi tambang pun bisa dilakukan lebih panjang, bahkan hingga mineral yang terkandung habis dikeruk oleh pengusaha. Sedangkan dari sisi pengusahanya, sanksi bagi para perusak lingkungan juga dibebaskan.
"Persyaratan analisis dampak lingkungan (Amdal) dilonggarkan, kemudian hak-hak buruh dilucuti, dan terakhir kewenangan daerah ditarik melalui omnibus law," kata Faisal.
Tak hanya itu, Faisal menyoroti soal banyaknya pejabat pemerintah baik di kalangan eksekutif maupun legislatif yang juga merangkap sebagai pejabat pada asosiasi-asosiasi pengusaha.
Ini akan berdampak pada produk regulasi yang dikeluarkan cenderung memuat kepentingan-kepentingan pengusaha. "Sungguh batas antara penguasa dan pengusaha itu sudah nyaris tidak ada," kata dia.
Hal berbeda justru diungkapkan oleh Kepala Desk Ekonomi Center for Strategis and International Studies (CSIS) Yose Rizal yang mengatakan beleid tersebut menjadi awal dalam reformasi ekonomi yang dibutuhkan untuk memacu investasi.
Sebab, penciptaan lapangan kerja yang berkualitas tidak bisa dilakukan tanpa adanya investasi. "RUU ini memang tidak sempurna, tapi ini langkah awal yang tepat bagi perbaikan iklim usaha dan ekonomi," kata dia dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Badan Legislasi DPR secara virtual, Senin (27/4).
Saat ini, lanjut dia, ekonomi dunia sedang mengarah ke tahap krisis. CSIS pun memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam skenario berat negatif 0,4%. Ini artinya, investasi dunia juga tengah merosot.
Dia pun berharap Indonesia dapat meningkatkan investasi saat kondisi ekonomi dunia telah pulih. Investasi tersebut dapat menjadi solusi atas pemutusan hubungan kerja (PHK) yang telah terjadi selama terjadinya pandemi corona.