Pemulihan Ekonomi Negara Maju Dinilai Tak Bisa Dongkrak Ekspor RI
Sejumlah negara maju berhasil memulihkan ekonomi di tengah pandemi corona. Namun, hal itu dianggap tak mampu meningkatkan ekspor Indonesia.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menyebut pertumbuhan ekspor RI masih negatif. Hal itu karena permintaan belum kembali normal seperti sebelum pandemi.
"Ada sih permintaan ekspor, seperti dari Tiongkok. Tapi tren pertumbuhannya masih negatif," kata Tauhid saat dihubungi Katadata.co.id, Sabtu (29/8).
Selain itu, banyak produk Indonesia yang diekspor namun dijual kembali ke negara lain. Contohnya minyak kelapa sawit mentah Indonesia yang diekspor kembali oleh Negeri Paman Sam. Meski begitu, kegiatan re-export tersebut juga tidak tinggi lantaran permintaan global belum normal.
Ia pun memperkirakan pertumbuhan ekspor secara bulanan akan bergerak stabil. Adapun, ekspor pada Juli 2020 sebesar 14,33% dibandingkan bulan sebelumnya. Sedangkan pertumbuhan ekspor secara tahunan diperkirakan bergerak di zona negatif dibandingkan tahun sebelumnya.
Tak jauh berbeda, pertumbuhan impor diperkirakan turun dibandingkan 2019. Namun, ia memperkirakan impor akan mengalami kontraksi yang lebih dalam daripada ekspor.
Oleh karena itu, Tauhid memprediksi neraca dagang tahun ini akan surplus. "Tapi ini bukan sesuatu yang membanggakan karena ada penurunan impor bahan baku, bukan karena substitusi impor," ujar dia.
Ia juga meragukan target pemerintah untuk substitusi impor sebesar 35% pada 2021. Menurutnya, perlu waktu panjang untuk substitusi impor produk besi, baja, dan produk kimia.
Guna meningkatkan kinerja neraca perdagangan, lanjut Tauhid, Indonesia perlu fokus pada negara non tradisional seperti Swiss. "Swiss impor terbesarnya dari Indonesia, padahal kita tidak memperhitungkan," katanya.
Adapun pada Juli 2020, ekspor non migas ke Swiss meningkat US$ 306,2 juta dibandingkan bulan sebelumnya. Peningkatan ekspor tersebut menjadi yang tertinggi di antara negara tujuan ekspor lainnya.
Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal memperkirakan kinerja ekspor masih positif secara bulanan. Namun, ia juga mengakui ekspor tersebut belum bisa tumbuh lebih tinggi dari capaian tahun lalu.
Menurutnya, kinerja ekspor akan semakin meningkat lantaran ekonomi Tiongkok mulai mengalami pemulihan. Ekspor bijih besi hingga batu bara diproyeksi meningkat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Negeri Tirai Bambu tersebut. Pada Juli 2020, ekspor non migas ke Tiongkok meningkat US$ 97,5 juta dibandingkan Juni 2020.
Selain itu, peningkatan ekspor juga terjadi lantaran adanya permintaan dari perusahaan yang relokasi dari Amerika Serikat ke negara lainnya. Industri tersebut diperkirakan akan meningkatkan permintaan ekspor pada negara di ASEAN, termasuk Indonesia.
Kemudian, Kementerian Perdagangan menjalankan instrumen non fiskal yang mendukung surplus neraca perdagangan. Ia memperkirakan, intervensi kebijakan yang tepat dapat menjaga neraca dagang tetap surplus.
"Ekspor saya duga dua hingga tiga bulan lagi mengalami kenaikan secara bulanan," ujar dia.
Badan Pusat Statistik mencatat neraca perdagangan pada Juli surplus sebesar US 3,26 miliar, melonjak dibandingkan bulan sebelumnya US$ 1,27 miliar. Kenaikan surplus neraca perdagangan seiring ekspor yang menanjak dan impor yang turun dibandingkan bulan sebelumnya.
Ekspor pada Juni kembali meningkat pada Juli sebesar 14.33% dibandingkan bulan sebelumnya menjadi US$ 13,73 miliar, tetapi turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 9,9%. Sedangkan impor turun 2,73% dibandingkan Juni menjadi US$ 10,47 miliar dan anjlok 32,55% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.