BI Sepakat dengan Pemerintah, Target Ekonomi 2021 Tumbuh 4,8% - 5,8%
Bank Indonesia memperkirakan ekonomi pada tahun depan tumbuh mencapai 5,8%. Proyeksi ini sejalan dengan perbaikan kondisi ekonomi yang mulai membaik pada paruh kedua tahun ini.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo pun pun menilai target pertumbuhan ekonomi pemerintah dalam RAPBN 2021 sebesar 4,5% hingga 5,5% realistis. "Ini sejalan dengan perkiraan BI sekitar 4,8% sampai 5,8%," kata Perry dalam rapat kerja bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu (2/9).
Perry menilai perbaikan ekonomi mulai telihat pada Juni 2020 setelah mengalami kontraksi dalam pada bulan sebelumnya. Adapun sepanjang kuartal kedua tahun ini, ekonomi domestik terkontraksi sebesar 5,32%.
Pada semester II 2020, pertumbuhan ekonomi domestik diperkirakan membaik didorong kenaikan permintaan domestik. Hal itu sejalan adanya relaksasi pembatasan sosial berskala besar, peningkatan realisasi APBN sebagai stimulus kebijakan fiskal, berlanjutnya stimulus kebijakan moneter, kemajuan dalam restrukturisasi kredit dan dunia usaha, serta dampak positif meluasnya penggunaan media digital.
Menurut Perry, sejumlah indikator dini pun menunjukan membaiknya mobilitas masyarakat, penjualan eceran dan online, keyakinan konsumen, serta eksperktasi kegiatan usaha. Kinerja positif ekspor berlanjut pada Juli 2020.
Perbaikan tercermin pada kenaikan ekspor sejumlah komoditas seperti besi dan baja serta bijih logam. "Ke depan, kami perkirakan perekonomian Indonesia akan semakin baik," ujar dia.
Perkiraan tersebut didukung oleh perbaikan ekonomi global, stimulus fiskal pemerintah, kebijakan BI yang akomodatif, serta pemulihan produksi dan investasi dengan kemajuan restrukturisasi kredit atau dunia usaha, dan implementasi UU Cipta Kerja.
Orang nomor satu di bank sentral tersebut menilai perbaikan ekonomi RI tak terlepas dari mulai pulihnya perekonomian global. Setelah mengalami tekanan berat pada kuartal II 2020 karena dampak pandemi, perekonomian global pada paruh kedua 2020 diperkirakan membaik.
Sejumlah indikator mengindikasikan peningkatan mobilitas masyarakat global, membaiknya keyakinan konsumen dan bisnis di banyak negara, serta naiknya PMI manufaktur. Dirinya memperkirakan ekonomi dunia terkontraksi 4,9% pada 2020. "Namun kemudian tumbuh positif 5,4% pada 2021," katanya.
Ekonomi Tiongkok diperkirakan mulai pulih pada kuartal IV 2020. Sementara negara lainnya baru pulih pada 2021.
Di pasar keuangan global, ketidakpastian menurut Perry, masih berlanjut antara lain karena kekhawatiran gelombang kedua Covid-19. Selain itu, kekhawatiran prospek pemulihan ekonomi global dan kenaikan tensi geopolitik Amerika Serikat dan Tiongkok. Kondisi itu menahan aliran modal ke negara berkembang dan memberi tekanan pada nilai tukar negara berkembang, termasuk Indonesia.
Kondisi manufaktur Indonesia membaik dan mulai kembali ke level ekspansi pada Agustus 2020 untuk pertama kalinya sejak Februari 2020 atau saat pandemi Covid-19 mulai merebak di luar Tiongkok. Perbaikan ini ditunjukkan oleh indikator purchasing manager's index atau PMI yang berada di level 50,8 atau naik dibandingkan posisi Juli 46,9. Aktivitas manufaktur dikatakan positif atau berada pada level ekspansif jika indeks berada di atas 50.
Tren positif industri manufaktur juga terjadi di berbagai negara, antara lain di Amerika Serikat di level 53,6 dan Tiongkok 53,1, dan Eropa 51,7. Namun, masih ada beberapa negara yang mengalami kontraksi pada aktivitas manufaktur dan belum kembali ke level seperti sebelum pandemi, antara lain Jepang sebesar 46,6 dan Thailand 49,7. Sementara Malaysia dan Filipina justru kembali mencatatkan kontraksi aktivitas manufaktur pada Agustus setelah sempat pulih dan kembali ekspansif pada Juli.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menjelaskan, perbaikan aktivitas manufaktur yang terus berlanjut meningkatkan optimisme pemulihan ekonomi global. Namun, berbagai risiko masih harus diwaspadai. "Kasus Covid-19 masih berada dalam tren peningkatan di dunia dan terdapat ancaman gelombang kedua Covid-19 yang dapat menghambat aktivitas perekonomian serta membayangi proses pemulihan ekonomi ke depan", ujar Febrio dikutip dari keterangan pers, Selasa (1/9).