Bibit-Chandra Pernah Didukung "Sahabat Pengadilan"
KATADATA ? Pemberian pendapat hukum oleh sahabat pengadilan atau amicus curiae juga pernah dilakukan terhadap kasus kriminalisasi Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada 2010.
Ketika itu lima akademisi, yakni Hamid Chalid dan Topo Santoso (Universitas Indonesia), Prof. Ningrum Sirait (Universitas Sumatera Utara), Laode Syarif (Universitas Hasanuddin, Makassar), dan Edward O.S. Hiariej (Universitas Gadjah Mada) mengirimkan pendapat hukum kepada Mahkamah Agung (MA) dalam perkara Peninjauan Kembali (PK) antara Kejaksaan Agung melawan Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 130 PID/PRAP/2010/PT.DKI tanggal 3 Juni 2010.
Putusan Pengadilan Tinggi itu, menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengabulkan permohonan Anggodo Widjojo dan membatalkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan atas kasus yang melibatkan kedua pimpinan KPK tersebut.
Dalam pandangan hukumnya, kelima akademisi itu meminta MA membatalkan putusan Pengadilan Tinggi karena menilai kasus yang menimpa dua pimpinan KPK sebagai rekayasa.
Keterangan tertulis Amicus Curiae itu dikirimkan pada 6 Oktober 2010, satu hari sebelum MA membuat putusan menolak permintaan peninjauan kembali (PK) dan menetapkan bahwa putusan Pengadilan Tinggi tetap berlaku.
Adapun kasus Bibit-Chandra akhirnya dihentikan setelah Kejaksaan Agung mengambil sikap menghentikan perkara demi kepentingan umum (deponering) pada 25 Oktober 2010. Sikap ini setelah melihat tekanan masyarakat.
Pada 10 Juli 2014 lalu, sebanyak 34 tokoh juga menyampaikan pdandangan hukum sebagai sahabat pengadilan dalam kasus ?Pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan Bailout Bank Century dengan terdakwa Budi Mulya?.
Ada delapan hal yang diminta ke-34 tokoh itu untuk dipertimbangkan Majelis Hakim sebelum memutuskan perkara tersebut. Pertama, fakta krisis perekonomian dan krisis perbankan pada 2008 di Indonesia. Kedua, penerbitan dan/atau penerapan perppu seharusnya tidak ditafsirkan secara sempit.
Ketiga, upaya pemidanaan terhadap kebijakan. Keempat, potensi ketidakpastian hukum terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang sudah berkekuatan hukum tetap. Kelima, upaya-upaya pengembalian aset Bank Century di luar negeri terancam gagal.
Keenam, Bank Mutiara terancam gagal dan berpotensi menimbulkan kerugian negara yang lebih besar. Ketujuh, pelaku kejahatan yang sesungguhnya dapat diuntungkan. Kedelapan, dampak terhadap industri perbankan Indonesia.
Namun sikap sejumlah tokoh tersebut mendapat respons negatif dari KPK. Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mempertanyakan sikap etis para tokoh yang menyampaikan pendapat sebagai sahabat pengadilan tersebut. ?Menelikung di ujung proses persidangan bukan tindakan terhormat, etis, dan profesional,? kata dia kepada Katadata, Selasa (15/7).
Dalam pandangannya, pernyataan terebut dapat dianggap sebagai penghinaan terhadap lembaga peradilan (contempt of court). ?Pendapat mereka tidak hanya misleading dan menyesatkan karena pendapat dikemukakan tanpa mengikuti fakta persidangan secara utuh dan cermat,? kata dia.
Bambang tidak mempersoalkan kredibilitas para tokoh yang mengajukan diri sebagai amicus curiae yang dikenal sebagai tokoh-tokoh anti-korupsi. ?Dasar prinsipnya adalah tidak boleh kedekatanmu membuat engkau menjadi tidak independen serta bersikap tidak etis dan tidak profesional, apalagi bersikap tdk adil. Siapapun dia!?
Wakil Menteri Hukum dan HAM yang juga Ketua Tim Pengembalian Aset Century Deny Indrayana mengatakan, amicus curiae yang disampaikan sejumlah tokoh bukan intervensi ke pengadilan.
?Ini sebagai dukungan kepada pengadilan Tipikor, kami kepada KPK, dukungan kami agar proses hukum, demi keadilan hakiki betul-betul muncul dan hadir, betul-betul lahir,? tegas Denny.
Pendapat dan masukan ini, kata dia, diberikan sehubungan dengan perkembangan persidangan yang menunjukkan kasus ini tidak lagi sekadar mencari kebenaran terkait tuduhan korupsi oleh terdakwa. Tetapi juga menyoroti kebijakan publik terkait penyelamatan Bank Century.
Apalagi dasar hukum pemberian FPJP dan bailout penyelamatan Bank Century berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2008. Dia menyayangkan di persidangan menyebutkan penerbitan Perppu itu bukan tolok ukur adanya krisis.
Selain kasus Bibit-Chandra dan Century, amicus curiae juga pernah dilakukan pada perkara PK MA antara Time Inc. Asia, Et. Al melawan H.M. Suharto tahun 1999; PK MA antara Erwin Ananda melawan Negara Republik Indonesia (kasus Playboy) tahun 2011; perkara di PN Tangerang antara Prita Mulyasari melawan Negara Republik Indonesia (Kasus Prita) tahun 2009; perkara di PN Makassar antara Upi Asmaradhana melawan Negara Republik Indonesia tahun 2009.