Nasib Ekonomi Tahun Ini: Pemulihan Tak Merata dan Terancam Tiga Risiko
Bank Indonesia (BI) melihat perekonomian global akan tumbuh positif tahun ini, tetapi masih dihadapkan oleh pemulihan yang tidak seimbang antara negara maju dan berkembang. Masalah ini diperburuk dengan tiga risiko yang berpotensi mengganggu proses pemulihan.
Gubernur BI Perry Warjiyo memperkirakan, perekonomian global tumbuh 5,7% pada tahun lalu. Meski mampu tumbuh relatif tinggi setelah tertekan pandemi pada tahun sebelumnya, pemulihannya berlangsung tidak seimbang karena masih bertumpu pada Amerika Serikat dan Cina.
"Diperkirakan pada 2022 ini, pertumbuhan ekonomi dunia tumbuh 4,4% tetapi ketidakseimbangan masih berlanjut," kata Perry dalam Seminar Nasional Strategic Issues in G20: Exit Strategy and Scarring Effect Post Covid-19, Senin (21/3).
Perry menyebut, ketidakseimbangan pemulihan dipengaruhi oleh akses yang tidak merata antara negara maju dan berkembang terhadap vaksin. Negara-negara berkembang cenderung memiliki kapasitas anggaran yang terbatas untuk bisa membeli vaksin.
Ini juga tidak lepas karena negara berkembang memiliki ruang fiskal dan moneter yang terbatas dibandingkan negara maju. Belum lagi, menurut dia, banyak negara berkembang seperti di Afrika yang menghadapi tantangan pembengkakan utang selama pandemi.
Selain pemulihan yang tidak seimbang, Perry mengatakan, perekonomian dunia juga menghadapi tiga risiko yang berpotensi mengganggu proses pemulihan ekonomi. Beberapa dari risiko tersebut juga akan berkontribusi terhadap semakin lemahnya kemampuan negara berkembang untuk memulihkan ekonomi.
Risiko pertama, yakni normalisasi kebijakan di negara maju yang diperkirakan lebih agresif. Ini salah satunya dilakukan bank sentral Amerika (The Fed) yang pekan lalu mengumumkan kenaikan pertama untuk bunga acuannya dan diperkirakan masih akan menaikkan lagi suku bunga hingga enam kenaikan pada tahun ini.
Kenaikan suku bunga The Fed berpotensi mengerek suku bunga negara-negara lain serta mempengaruhi ke persepsi risiko global. Pengetatan kebijakan moneter di negara maju akan mempersulit negara-negara berkembang untuk bisa pulih karena harus mengatasi potensi dampak rembetan terhadap arus modal.
"Dan karenanya juga membatasi kemampuan negara-negara berkembang dalam merumuskan kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di dalam negeri," kata Perry.
Risiko kedua, yakni efek luka memar setelah diterjang dua tahun pandemi. Di negara maju, banyak perusahaan-perusahaan yang masih berjuang pulih dari pandemi sehingga ini akan mengganggu kemampuan untuk memulihkan ekonomi. Hal serupa juga disebut menjadi tantangan di negara berkembang. Mereka harus bisa memulihkan dunia usaha, mendorong kredit, melakukan transformasi sektor riil dan transformasi struktural.
Risiko ketiga, yakni perang antara Rusia dan Ukraina yang akan memberi beban tambahan terhadap pemulihan ekonomi. Dampak dari konflik ini terutama akan terlihat dari tiga aspek, yakni kenaikan inflasi karena lonjakan harga komoditas, penurunan volume dan gangguan jalur perdagangan global yang ikut berdampak pada pertumbuhan ekonomi, serta gangguan di sektor keuangan.
"Tidak hanya berpengaruh ke persepsi global, sekarang banyak investor global kembali untuk memegang safe haven assets dan mereka juga menarik aliran modalnya ke negara berkembang termasuk di Indonesia, sehingga bisa berdampak ke stabilitas eksternal dan nilai tukar," kata Perry.
Perry mengatakan, perang juga memberikan pekerjaan rumah baru bagi banyak negara dunia, termasuk Indonesia. Negara-negara di berbagai belahan dunia harus mengkalibrasi ulang kebijakannya dalam merespon risiko penurunan pertumbuhan ekonomi dunia, kenaikan inflasi, dan gangguan di sektor keuangan.