Bank Dunia Siapkan Dana Rp 440 Triliun untuk Tangani Krisis Pangan
Bank Dunia mengumumkan akan menyediakan dana lebih dari US$ 30 miliar atau setara Rp 440 triliun (kurs 14.689 per dolar AS) untuk menangani krisis ketahanan pangan selama 15 bulan ke depan. Nilai tersebut termasuk dana untuk program-program ketahanan pangan baru yang mencapai Rp 176 triliun.
Presiden Grup Bank Dunia David Malpass mengatakan, dana hingga lebih dari US$ 30 miliar yang disediakan tersebut terdiri atas dana untuk program-program yang sudah ada serta untuk mendukung program-program baru.
Pembiayaan ini akan mencakup upaya untuk mendorong produksi pangan dan pupuk, meningkatkan sistem pangan, memfasilitasi perdagangan yang lebih besar, dan mendukung rumah tangga dan produsen yang rentan.
Dari total dana tersebut, sekitar US$ 12 miliar atau Rp 176 triliun akan dialokasikan untuk program-program ketahanan pangan yang baru.
Proyek-proyek ini diharapkan untuk mendukung pertanian, perlindungan sosial untuk meredam dampak dari harga pangan yang lebih tinggi, dan proyek-proyek air dan irigasi, dengan sebagian besar sumber daya mengalir ke Afrika dan Timur Tengah, Eropa Timur dan Asia Tengah, dan Asia Selatan.
Selain itu, senilai US$ 18,7 miliar atau Rp 274 triliun dari dana untuk program terkait ketahanan pangan yang sudah ada tapi belum dicairkan. Program yang sudah ada ini mencakup pertanian dan sumber daya alam, nutrisi, perlindungan sosial dan sektor lainnya.
"Kenaikan harga pangan memiliki dampak yang menghancurkan bagi mereka yang paling miskin dan paling rentan," ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (18/5).
Sebagai upaya untuk merespons krisis pangan ini, ia menilai negara-negara perlu membuat pernyataan yang jelas tentang peningkatan produksi di masa depan sebagai tanggapan atas perang di Ukraina.
Negara-negara harus bekerja sama untuk meningkatkan pasokan energi dan pupuk, membantu petani meningkatkan penanaman dan hasil panen, menghapus kebijakan yang menghalangi ekspor dan impor, dan upaya lainnya.
Maka itu, Malpass menyebut pihaknya akan membahas empat prioritas sebagai tanggapan terhadap krisis pangan ini, antara lain:
- Mendorong peningkatan produksi musim depan dengan menghilangkan hambatan perdagangan input, penggunaan pupuk yang lebih efisien dna mengubah kebijakan pengeluaran publik untuk lebih mendukung petani
- Membangun konsensus internasional melalui G7, G20 atau lainnya dan komitmen untuk menghindari pembatasan ekspor dan impor
- Meningkatkan program perlindungan sosial bagi rumah tangga yang rentan
- Memperkuat sistem pangan melalui investasi dalam ketahanan pangan dan gizi yang berkelanjutan baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Namun, perang di Ukraina sebetulnya bukanlah satu-satunya faktor yang mendorong meningkatnya kerawanan terhadap pangan global.
Data PBB menunjukkan bahwa 193 juta orang di 53 negara mengalami kerawanan pangan akut pada tahun lalu. Namun, perang antara Rusia dan Ukraina akan memperburuk kondisi ini pasalnya kedua negara tersebut memproduksi 30% dari pasokan gandum dunia.
"Perang Rusia melawan Ukraina adalah kejutan global terbaru yang memperburuk peningkatan tajam kerawanan pangan akut dan kronis dalam beberapa tahun terakhir yang didorong oleh konflik, perubahan iklim, dan kemerosotan ekonomi, seperti yang terkait dengan pandemi Covid-19," bunyi dalam keterangan resmi Kementerian Keuangan AS merespon pernyataan baru Bank Dunia yang akan meningkatkan pendanaan untuk krisis pangan seperti dikutip dari french24.com, Kamis (19/5).
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyebut, terdapat 50 negara di dunia yang bergantung pada impor gandum dari Ukraina dan Rusia. Ancaman lebih serius terutama bagi 26 negara yang lebih dari separuh impor gandumnya dari kedua negara tersebut.
Bukan hanya gandum, kedua negara juga mengimpor 55% dari total pasokan minyak bunga matahari dunia. Rusia juga merupakan eksportir utama untuk pupuk dunia, pemasok pupuk nitrogen nomor satu dunia, pemasok potasium kedua dunia dan nomor tiga untuk ekspor pupuk fosfor. Ukraina juga menjadi negara eksportir jagung terbesar keempat dunia.