Rupiah Tembus 15.000/US$, BI Sebut Lebih Stabil Daripada Banyak Negara
Bank Indonesia menyebut nilai tukar rupiah relatif stabil meski terus melemah dalam beberapa waktu terakhir. Rupiah sempat menyentuh Rp 15.000 per US$ pada perdagangan pekan lalu.
"Nilai tukar relatif stabil meskipun ketidakpastian baru-baru ini datang dari pasar global, tetapi kita dapat melihat bahwa kita berhasil mengelola stabilitas eksternal di tengah ketidakpastian yang meningkat," kata kata Direktur Eksekutif Kepala Bank Indonesia Institute Yoga Affandi dalam acara side event G20 Jalur Keuangan-Central Bank Policy Mix for Stability and Economic Recovery, Rabu (13/7).
Ia membandingkan depresiasi rupiah dengan mata uang negara berkembang lainnya yang turun lebih dalam. Sejak awal tahun hingga 30 Juni, rupiah telah terkoreksi 5,41%. Ini masih lebih baik dibandingkan ringgit Malaysia yang melemah 4,53%, rupee India 11,27%, peso Filipina 8,41%, baht Thailand 11,06%, rand Afrika Selatan 18,41%, real Brasil 26,94% dan lira Turki sebesar 25,7%.
Ia menyebut Indonesia cukup baik dalam mengelola kondisi eksternal selama periode pandemi. Neraca dagang melanjutkan surplus selama lebih dari dua tahun. Cadangan devisa masih mencukupi sekalipun sedikit menurun dan pertumbuhan ekonomi kuartal I yang mencapai 5%. Namun, ketidakpastian yang meningkat baru-baru ini telah memberikan tekanan pada stabilitas eksternal.
Di sisi lain, menurut Yoga, BI sudah memperkuat bauran kebijakannya sehingga bisa meredam tekanan eksternal tersebut. BI sudah meluncurkan intervensi melalui DNDF sejak 2018. Volatilitas rupiah juga terlihat masih rendah.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Edi Susianto mengatakan, depresiasi yang dialami rupiah beberapa waktu terakhir merupakan fenomena global. Indonesia tidak sendirian, melainkan banyak mata uang negara berkembang lainnya yang juga amblas terhadap dolar AS.
Edi mengatakan tekanan ini terutama berasal dari pasar keuangan global. Pelaku pasar khawatir akan terjadi perlambatan lebih jauh pada perekonomian global, bahkan mulai mengkhawatirkan kemungkinan terjadinya resesi, termasuk di AS. Kondisi ini dipicu tekanan inflasi yang kemudian memaksa bank sentral mengerek bunga acuannya.
"Hal tersebut mendorong para pelaku pasar global (investor) untuk terus mencari safe haven currency dan safe haven assets, dimana safe haven currency condong ke USD, index USD (DXY) terus menguat," kata dia, Rabu (6/7).
Untuk merespon pelemahan rupiah tersebut, Edi menyebut pihaknya akan melakukan langkah-langkah diantaranya. Pertama, BI siap siaga di pasar melalui intervensi tiga lapis untuk memastikan supply dan demand valuta asing. Kedua, BI juga menjaga kondisi likuiditas rupiah dalam level yang optimal.