Krisis Properti Cina, Warga Boikot Bayar KPR
Krisis properti di Cina semakin suram. Para pembeli rumah yang tidak puas dengan progres pembangunan perumahan yang belum selesai atau macet menolak untuk membayar kredit pemilikan rumah atau KPR. Banyak pengembang properti saat ini terlilit utang dan kehabisan uang untuk menyelesaikan proyeknya.
Mengutip Bloomberg, penelitian China Real Estate Information menyebutkan bahwa aksi mogok membayar KPR terjadi pada setidaknya 100 proyek di 50 kota. Analis percaya bahwa penurunan nilai rumah turut mendorong aksi masyarakat memboikot pembayaran KPR.
Hingga saat ini, hipotek Cina telah dianggap sebagai salah satu aset perbankan teraman karena memiliki uang muka yang tinggi dan agunan.
Apa sebenarnya yang terjadi di sektor perumahan Cina?
Kemerosotan real estat di ekonomi terbesar kedua negara ini dimulai tahun lalu ketika Xi Jinping berusaha menjinakkan harga yang tidak menentu dan mengurangi risiko dengan mengekang pertumbuhan hipotek dan pendanaan untuk pengembang properti. Penutupan kota dan provinsi saat Beijing untuk memerangi wabah Covid juga berkontribusi pada penurunan penjualan perumahan.
Harga properti telah jatuh dan para pengembang gagal membayar obligasi mereka. Sistem keuangan Cina, antara lain mencakup hipotek yang beredar mencapai US$ 46 triliun yuan atau setara Rp 101, 15 kuadriliun dan masih memiliki 13 triliun yuan atau setara Rp 28,59 kuadriliun pinjaman kepada pengembang negara yang terkepung. Pasar telah menunjukkan hanya sedikit tanda pemulihan meskipun beberapa kota melonggarkan pembatasan pembelian rumah dan bank sentral memangkas suku bunga hipotek pada bulan Mei.
Analis Nomura menyebut, pengembang baru menyelesaikan sekitar 60% dari rumah yang mereka jual antara 2013 dan 2020, sementara pinjaman hipotek yang beredar naik 26,3 triliun yuan. Jika setiap pembeli gagal bayar, itu akan menyebabkan peningkatan pinjaman bermasalah mencapai 388 miliar yuan atau setara Rp 833,21 triliun.
Jefferies dari GF Securities Co memperkirakan terdapat hipotek sebanyak 2 triliun yuan hipotek yang terpengaruh langkah boikot. Namun, pemberi pinjaman China sebagian besar mengatakan bahwa situasinya tetap terkendali. Dalam kebanyakan kasus, jumlah peminjam yang melewati pebayaran jatuh tempo kurang dari 1% dari total portofolio hipotek pemberi pinjaman.
Regulator perbankan Cina saat ini telah meminta pemberi pinjaman untuk menawarkan kredit kepada pengembang properti yang memenuhi syarat sehingga mereka dapat menyelesaikan proyek perumahan yang belum selesai. Regulator juga dilaporkan meminta bank untuk mendukung merger dan akuisisi oleh pengembang untuk membantu menstabilkan pasar dan meningkatkan komunikasi dengan pembeli rumah dan melindungi hak hukum mereka.
Sumber Bloomberg menyebut, pemerintah Cina juga dapat mengizinkan pemilik rumah menghentikan sementara pembayaran hipotek tanpa menimbulkan penalti. Kota Cina yang paling banyak diboikot sejauh ini, Zhengzhou di Provinsi Henan, berencana untuk menyiapkan dana talangan untuk membantu pengembang yang kekurangan uang menyelesaikan proyek perumahan. Prioritas Beijing adalah menghindari krisis properti yang lebih dalam yang akan mengirimkan gelombang kejutan ke seluruh sistem keuangan.
Penanganan krisis properti menjadi hal krusial bagi ekonomi Cina. Konstruksi dan penjualan rumah alam mesin terbesar ekonomi Cina, dengan sektor properti diperkirakan menyumbang sekitar seperempat dari PDB. Kegagalan real estat akan menjadi bencana besar bagi perekonomian negara Tembok Raksasa ini. Tekanannya juga dapat menyebar ke seluruh sistem keuangan dunia dan bergema melalui pasar kredit di seluruh dunia.