Faisal Basri Nilai Ekonomi RI Aman dari Penyakit Belanda, Ini Sebabnya
Bank Dunia memperingatkan perekonomian Indonesia rentan terjangkit dutch disease alias penyakit Belanda di tengah tren kenaikan harga komoditas. Meski demikian ekonom senior INDEF Faisal Basri belum melihat risiko itu membayangi perekomian dalam negeri.
Penyakit Belanda biasanya terjadi saat suatu perekonomian sangat bergantung terhadap ekspor beberapa komoditas. Ekspor yang tinggi kemudian membantu penguatan nilai tukar.
Di sisi lain, daya saing produk ekspor Indoneisa lainnya, termasuk manufaktur, melemah seiring penguatan kurs. Hal ini yang kemudian menjelaskan sektor manufaktur Indonesia biasanya turun ketika suatu perekonomian terjangkit penyakit Belanda.
"Kalau penyakit Belanda biasanya kita tergantung hanya pada satu atau dua komoditas," kata Faisal dalam diskusi daring, Kamis (5/1).
Di sisi lain, Faisal melihat sektor manufaktur Indonesia mulai menunjukkan gejala deindustrialisasi. Rasio nilai tambah sektor manufaktur Indonesia terhadap PDB terus turun, dari 29,1% pada 2001 menjadi hanya 18,3% pada tiga kuartal pertama tahun lalu.
Ia melihat sektor manufaktur Indonesia juga melambat sebelum mencapai titik optimalnya. Ia mengkhawatirkan kondisi ini membuat RI semakin terttinggal jauh dari Cina, Thailand dan Malaysia dan disalip Vietnam.
Di samping itu, sektor manufaktur di dalam negeri juga kurang diversifikasi dengan hanya bergantung pada beberapa sub sektor saja.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual berpendapat sama dengan Faisal. Ia melihat penurunan pada kinerja manufaktur Indonesia satu dekade terakhir bukan karena fenomena penyakit Belanda. "Memang banyak hambatan di manufaktur kita," kata David.
Menurut dia, pemerintah perlu memperbaiki perizinan, mengatasi masalah pertanahan, membuat ekosistem investasi lebih kondusif, memberi insentif fiskal, memastikan ketersediaan sumber daya manusia (SDM), serta diversifikasi tujuan dan produk ekspor.
Namun pandangan berbeda disampaikan ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI Teuku Riefky. Ia menyebut tanda-tanda penyakit Belanda sudah mulai terlihat selama beberapa kuartal terakhir sejak lonjakan harga komoditas.
Menurutnya, penyakit ini sudah sering menjangkit Indonesia dalam beberapa dekade terakhir. Riefky lalu memberikan sinyal lain dari penyakit Belanda.
"Setiap harga komoditas meningkat maka penerimaan negara meningkat signifikan dan belanja mengandalkan siklus harga komoditas," katanya.
Ledakan komoditas yang kemudian dapat memunculkan penyakit belanda akan membahayakan ekonomi Indonesia. Ini karena Indonesia bisa saja terlena sehingga terus-terusan bergantung terhadap komoditas sebagai mesin pertumbuhan ekonomi. Namun, pelan-pelan ekonomi Indonesia akan melambat saat harga komoditas turun.
Aliran investasi ke sektor produktif juga bisa menurun tergeser oleh investasi ke sektor komoditas. Riefky menyebut porsi penyaluran kredit ke sektor komoditas seperti CPO juga cukup besar di Indonesia.
"Bahaya lainnya, ini akan membatasi ruang fiskal pemerintah untuk melakukan kebijakan countercyclical apabila penerimaan tergantung dari harga komoditas," kata Riefky.