Duduk Perkara Beda Klaim Mahfud-Kemenkeu soal Cuci Uang Emas Rp 189 T
Silang klaim terjadi antara Menteri Koordinator Pol Polhukam Mahfud MD dengan Kementerian Keuangan soal dugaan pencucian uang terkait ekspor impor emas dengan transaksi mencapai Rp 189 triliun. Transaksi tersebut merupakan salah satu temuan besar PPATK dalam rangkaian transaksi mencurigakan Rp 349 triliun sejak 2009 terkait Kementerian Keuangan.
Mahfud dalam rapat dengan Komisi III DPR RI pada 29 Maret lalu menjelaskan bahwa transaksi mencurigakan Rp 189 triliun terkait 15 entitas. Belasan entitas itu diduga mengimpor emas batangan bernilai mahal saat surat pemberitahuan impor menunjukkan barang yang diimpor adalah emas mentah.
Manfud mengatakan, mereka mengaku memiliki pabrik pengolahan emas di Surabaya. Namun, pemeriksaan oleh PPATK menunjukkan tidak ada pabrik pada alamat yang dimaksud.
Mahfud menyayangkan Kemenkeu yang justru memeriksa dari sisi kepatuhan pajak dari 15 entitas itu alih-alih pemeriksaan dari sisi pelanggaran kepabeanannya. "Dan itu menyangkut uang miliaran rupiah yang tidak diperiksa," kata Mahfud saat itu.
Ia menyebut, laporan soal 15 entitas nakal itu sudah dua kali disampaikan oleh PPATK. Laporan pertama disampaikan pada 2017 lalu, PPATK menemukan adanya transaksi mencurigakan sebesar Rp 180 triliun selama periode 2014-2016. Namun, Mahfud menyebut tak ada tindak lanjut dari laporan itu.
Menurut Mahfud, PPATK kembali mengirimkan laporan untuk entitas yang sama pada 2020. Transaksi yang dilacak saat itu untuk periode 2017-2019, dengan temuan Rp 189 triliun yang belakangan ramai diperbincangkan. Namun Mahfud kembali menduga bahwa laporan kedua itu tak kunjung sampai ke meja Sri Mulyani.
"Sehingga kesimpulan saya, bu Menkeu ini tidak punya akses terhadap laporan-laporan ini, Sehingga keterangan terkait di Komisi XI DPR itu jauh dari fakta. Bukan dia menipu, tapi dia diberi data (transaksi Rp 189 triliun) itu data pajak, padahal ini data bea dan cukai yang penyelundupan emas ini," kata Maud.
Oleh karena itu, Mahfud juga sempat menuding bahwa terdapat anak buah Sri Mulyani yang tidak amanah soal laporan PPATk ini dengan menyebut akses Sri Mulyani telah 'ditutup dari bawah'. Ia sempat menyinggung nama mantan Dirjen Bea Cukai yang sekarang menjadi Sekjen Kemenkeu Heru Pambudi dan mantan Irjen Kemenkeu Sumiyati sebagai pihak yang menerima langsung laporan PPATk itu pada 2017.
Penjelasan Kementerian Keuangan
Kementerian Keuangan menjelaskan bahwa transaksi mencurigakan Rp 189 triliun itu terkait ekspor emas, berbeda dari klaim Mahfud yang menyebut perkara impor. Di samping itu, penyelidikan dari sisi kepabeanan disebut sudah dilakukan tetapi memang hasilnya nihil.
Staf Khusus Menteri Keuangan bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menyebut, transaksi Rp 189 triliun disebutkan sebagai penindakan ekspor karena indikasi awal tindak pidana kepabeanan itu terkait ekspor. Meski demikian, penyidikan yang dilakukan memang menyeluruh hingga tahapan impor.
Ia merunut, kantor Bea Cukai Bandara Internasional Soekarno Hatta menindak ekspor emas melalui kargo oleh PT Q pada Januari 2016,. Dalam laporan dokumen ekspornya, perusahaan menyampaikan bahwa emas yang diekspor dalam bentuk emas perhiasan. Namun, petugas bea cukai melakukan pemeriksaan setelah adanya kejanggalan pada profil eksportir dan tampilan x-ray. Emas yang diekspor ternyata dalam bentuk batangan alias ingot.
Sementara soal Mahfud yang mengaitkannya dengan impor, menurut Yustinus, ini karena PT Q ternyata juga sempat mengajukan permohonan pembebasan pajak penghasilan (PPh) pasal 22 impor pada 2015. Namun, permohonan itu ditolak karena perusahaan tidak dapat memberikan data yang menunjukkan atas impor tersebut menghasilkan emas perhiasan tujuan ekspor.
Prastowo menyebut modus PT Q adalah mengaku sebagai produsen emas perhiasan tujuan ekspor untuk memperoleh pembebasan PPh pasal 22 impor.
"Sehingga jelas kenapa kegiatan ekspor disebut dalam klarifikasi kami. Karena ekspor lah yang menjadi indikasi awal adanya tindak pidana di bidang kepabeanaan oleh PT Q," tulis PRastowo dalam cuitannya 2 April lalu.
Prastowo juga menanggapi terkait pengalihan pemeriksaan dari semula temuan kepabeanan kemudian menjadi pajak. Hal ini tidak lepas dari putusan Mahkamah Agung alias MA yang menyatakan bahwa PT Q tidak melakukan tindak pidana.
Pada februari 2017, PN Tangerang memutuskan PT Q tidak melakukan tindak pidana kepabeanan. Kantor bea cukai kemudian mengajukan kasasi dengan hasil PT Q dinyatakan melakukan pidana. Namun, PT Q melawan balik dengan mengajukan peninjauan kembali atau PK. hasil PK itu kemudian keluar pada Juli 2019 yang kembali menyatakan PT Q tidak melakukan tindakan pidana.
"Mengenai apa yg disampaikan Pak Mahfud, bahwa ada LHP PPATK yg diserahkan 2017 dan diterima DJBC dan Itjen. Bukan tidak ditindaklanjuti. Justru sedang berproses maka dilakukan kegiatan intelijen untuk memperkuat ini. Apalagi 2019 ternyata PK memenangkan terdakwa," kata Prastowo.
Modus PT Q kembali terendus, karena itu PPATK kemudian kembali mengirimkan laporan pada 2020. Prastowo membenarkan bahwa Bea Cukai telah menerima by hand laporan PPATK itu dalam SR-205/PR.01/V/2020. Laporan itu terkait grup perusahaan yang bergerak di bidang emas yang terdiri atas 14 entitas, yakni sembilan badan dan empat orang pribadi. Transaksi 14 entitas ini lah yang mencapai Rp 189,7 triliun.
Bea Cukai, kata Prastowo, kemudian menindaklanuti laporan PPATK 2020 itu lewat analisis kepabeanan. Namun belum ditemukan adanya indikasi pelanggaran pidana di bidang kepabeanan.
Ia menyebut pemeriksaan kasus ini kemudian bergeser ke aspek pemeriksaan atas kepatuhann pajaknya karena pertimbangan tidan adanya unsur pidana dan putusan PK 2019 pada kasus PT Q. Setelah itu, PPATK mengirimkan surat pemeriksaan bernomor SR-595/PR.01/X/2020 yang disampaikan ke Ditjen Pajak.
Ditjen Pajak diketahui melakukan pemeriksaan bukti permulaan terhadap PT Q. Hasilnya, perusahaan mengakui adanya kurang bayar sehingga pemerintah memperoleh pembayaran sebesar Rp 1,25 miliar. Ditjen Pajak juga mencegah restitusi lebih bayar SPT tahunan 2016 yang sebelumnya dilakukan PT Q sebesar Rp 1,58 miliar.
"Sehingga menjadi jelas bahwa Kemenkeu tidak mendiamkan apalagi menutup-nutupi data PPATK ke Bu Menteri. Semua dapat dijabarkan dengan akuntabel, transparan, bahkan digunakan untuk optimalisasi penerimaan," kata Prastowo.