Amerika Terancam Default dan Krisis Bank, Apa Efeknya ke Indonesia?
Pasar keuangan Amerika Serikat dihadapkan sejumlah permasalahan, mulai dari kegagalan bank hingga ancaman gagal bayar karena kebuntuan pembahasan plafon utang. Bagaimana gejolak keuangan di AS ini bisa memengaruhi Indonesia?
Pasar keuangan global kembali bergejolak setelah salah satu bank AS bangkrut, First Republic Bank. First Republic adalah salah satu pemberi pinjaman regional AS yang paling terpukul oleh krisis kepercayaan di sektor perbankan sejak Maret. Para deposan melarikan diri secara massal dari bank kecil ke raksasa seperti JPMorgan karena mereka panik atas runtuhnya dua bank menengah AS lainnya, Silicon Valley Bank dan Signature Bank.
First Republic sebenarnya telah tertatih-tatih sejak kegagalan dua bank tersebut. Namun, investor melarikan diri lagi pada pekan lalu ketika bank tersebut mengungkapkan bahwa ada arus keluar dana lebih dari $100 miliar arus pada kuartal pertama tahun ini.
Hampir seminggu setelah pengungkapan tersebut, regulator California menyita First Republic pada Senin (1/5). Bank tersebut masuk ke dalam kurator, Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) dan asetya di jual kepada JP Morgan. Aksi ini menandai kegagalan bank besar AS ketiga dalam dua bulan terakhir dan yang terbesar sejak 2008.
Isu bank bangkrut ini bukan satu-satunya kekhawatiran pasar saat ini. Investor juga mencermati risiko default alias gagal bayar utang AS saat diskusi soal plafon utang di Kongres masih sengit. Menteri Keuangan AS Janet Yellen juga sudah memperingatkan pemerintah akan kehabisan dana pada awal Juni jika kongres tak kunjung merestui peningkatan atau penangguhan plafon utang.
Kepala Pusat Ekonomi Makro dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman menilai, efek kebangkrutan First Republic Bank ke dalam negeri terbatas. Ia melihat kondisi perbankan di dalam negeri masih stabil ditopang oleh bank-bank besar.
"Meski demikian perlu antisipasi yang kuat dalam menghadapi krisis keuangan di AS ini. Yang terpenting adalah menjaga optimisme pasar, termasuk menjaga suku bunga BI agar investasi bisa bergerak lebih baik," kata Rizal, Selasa (2/5).
Ekonom Indo Primer Sekuritas Luthfi Ridho juga melihat efek penularan dari krisis perbankan di AS dan ancaman default utang itu terhadap Indonesia relatif kecil.
"Salah satunya (risikonya terhadap) rupiah, namun kondisi makro ekonomi Indonesia saat ini kuat, investor asing masih net buy dan rupiah terapresiasi," kata dia.
Modal asing cukup deras masuk ke pasar keuangan Indonesia pekan lalu sebesar Rp 6 triliun sekalipun perdagangan baru dibuka pada Rabu, 26 Arpil. Realisasi net buy di pasar keuangan domestik oleh investor non resident mencapai lebih dari Rp 74 triliun sejak awal tahun ini.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyebut, risiko default pemerintah AS karena alotnya pembahasan plafon utang umumnya memberikan sentimen negatif ke pasar keuangan global. Pasar khawatir karena surat utang pemerintah AS alias US Treasury selama ini sudah terkenal sebagai aset paling aman akan mejadi kejutan di pasar.
Josua menilai risiko default tersebut akan mix terhadap pasar keuangan domestik dengan kecenderungan positif. Alasannya, menurut dia, kondisi fundamental pasar obligasi pemerintah Indonesia sangat mendukung terjadinya inflow atau aliran masuk.
"Sejauh ini kecenderungannya akan bias positif untuk Indonesia karena kondisi utang dan fundamental ekonomi kita jauh lebih baik dibandingkan sebagian besar negara maju termasuk Amerika Serikat," kata Josua, Jumat (28/4).
Di sisi lain, ia juga tak begitu risau lantaran risiko default ini sangat kecil. Menurut dia, kebuntuan yang terjadi di pemerintahan AS soal plafon utang pada akhirnya akan menemui keputusan akhir seperti periode-periode sebelumnya. Perdebatan soal plafon utang juga sempat terjadi pada 2021. Namun, Kongres AS pada akhirnya tetap setuju untuk menaikkan batas utang sekalipun memang sempat ada 'drama' di Kongres AS.