Masuk Negara Menengah Atas, Berapa Lama RI Bisa Setara Korsel dan AS?
Indonesia kembali masuk dalam jajaran negara berpenghasilan menengah atas berdasarkan kategorisasi terbaru Bank Dunia yang dirilis pada pekan lalu. Namun, naik kelas menjadi negara berpenghasilan tinggi atau negara kaya seperti yang dicita-citakan pemerintah terjadi pada 2045 bukan persoalan mudah.
Status sebagai negara berpenghasilan menengah atas sebenarnya sudah pernah disanding Indonesia pada 2019. Namun, Indonesia kembali turun kelas karena pandemi Covid-19 memukul pendapatan per kapita Indonesia pada 2020 dan 2021. Adapun status Indonesia sebagai negara menengah atas kembali diperoleh seiring kenaikan pendapatan nasional bruto per kapita dari US$ 4.140 menjadi US$ 4.580 atau sekitar Rp 68 juta.
Meski telah masuk dalam kelompok negara menengah atas, posisi Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan banyak negara lainnya. Indonesia masih berada di urutan ke-121 dari 196 negara yang diperingkat oleh Bank Dunia berdasarkan pendapatan nasional bruto per kapita.
Lantas, bagaimana dengan cita-cita untuk menjadi negara berpenghasilan tinggi atau kaya?
Berdasarkan kategorisasi Bank Dunia yang dirilis pada 2023, negara yang masuk dalam kriteria berpenghasilan tinggi adalah yang memiliki pendapatan per kapita US$ 13.845. Jika mengacu kriteria tersebut, Indonesia harus meningkatkan pendapatan per kapitanya hingga tiga kali lipat dari posisi saat ini.
Asian Development Bank dalam risetnya pada 2017 lalu menyebutkan, negara-negara di Asia membutuhkan waktu lebih cepat dibandingkan kawasan lainnya untuk bertransisi dari kelompok negara berpenghasilan rendah ke negara berpenghasilan menengah. Rata-rata waktu yang dibutuhkan mencapai 13 tahun, lebih cepat dibandingkan kawasan lain yang mencapai 17 tahun.
Namun, berpindah status dari negara berpenghasilan menengah ke berpenghasilan tinggi terbukti jauh lebih sulit. Berdasarkan data median global pada 1960 hingga 2014, waktu yang dibutuhkan suatu negara untuk naik status menjadi negara berpendapatan tinggi adalah 23 tahun. Namun, negara-negara Asia yang berhasil menggerakkan ekonominya menjadi negara berpendapatan tinggi seperti Hong Kong, Korea Selatan, dan Taipei Cina hanya membutuhkan waktu 19 tahun.
Faktor kunci dari negara-negara Asia yang berhasil masuk dalam kelompok yang sama dengan Amerika Serikat hingga Jerman adalah dukungan kuat masing-masing negara untuk inovasi, pengetahuan dan pengembangan sumber daya manusia, adopsi teknologi, perlindungan hak kekayaan intelektual dan investasi infrastruktur.
Republik Korea merupakan studi kasus yang bagus bagi negara-negara yang ingin belajar agar cepat makmur. Negeri Gingseng ini mampu membuat pergeseran dari pendapatan menengah ke pendapatan tinggi dengan beralih dari fokus pada industri berat pada 1970-an ke industri teknologi tinggi dari pertengahan 1980-an.
Pergeseran tersebut disertai dengan peningkatan infrastruktur pemerintah, deregulasi sektor keuangan, memperkenalkan reformasi pendidikan untuk mempromosikan ilmu pengetahuan dan teknologi, membangun kapasitas penelitian dan pengembangan negara, dan memberikan subsidi pajak dan insentif lain bagi sektor swasta untuk memainkan peran yang lebih besar dalam ekonomi pengetahuan.
Sepanjang 1988 hingga 1994, proporsi ekspor teknologi tinggi Korea Selatan total ekspor manufaktur naik dari sekitar 16% menjadi hampir 23%.
Menurut ADB, negara Asia yang ingin naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi harus mendorong pertumbuhan produktivitas lebih besar, meningkatkan inovasi, dan lebih banyak berinvestasi baik dari pemerintah maupun sektor swasta dalam infrastruktur pendukung, termasuk sistem teknologi informasi dan komunikasi modern.
Bagaimana dengan target Indonesia?
Pemerintah telah menargetkan Indonesia mejadi negara berpendapatan tinggi atau maju pada 2045, saat usia kemerdekaan mencapai 100 tahun. Untuk mencapainya, PDB nasional ditargetkan mencapai US$ 7,4 triliun atau menempati peringkat lima terbesar di duni pada tahun yang sama.
Adapun Indonesia perlu keluar dari middle income trap terlebih dahulu. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah memperkirakan hal itu akan tercapai pada 2036, saat PDB per kapita sekitar US$ 12,2 ribu atau Rp 171,3 juta.
Meski demikian, pemerintah harus menyelesaikan masalah faktor produktivitas yang rendah, melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia, penyederhanaan regulasi dan birokrasi, serta penelitian dan pengembangan dari pihak swasta.