Danai Program Prabowo, BI Pastikan Burden Sharing Tanpa Cetak Uang Baru
Bank Indonesia (BI) dan pemerintah sepakat berbagi beban bunga atau burden sharing melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) untuk membiayai program prioritas Presiden Prabowo Subianto.
Kepala Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso menegaskan skema ini tidak dilakukan dengan pencetakan uang baru. “Tidak ada pencetakan uang baru,” kata Denny kepada Katadata.co.id, Kamis (4/9).
Hingga akhir Agustus 2025, BI telah membeli SBN senilai Rp200 triliun, termasuk melalui pasar sekunder dan program debt switching dengan pemerintah sebesar Rp150 triliun.
Menurut Denny, pembagian beban bunga dilakukan setelah dikurangi penerimaan dari penempatan dana pemerintah di lembaga keuangan domestik untuk dua program prioritas Presiden Prabowo Subianto yaitu Perumahan Rakyat dan Koperasi Desa Merah Putih.
Ia menambahkan, langkah ini sejalan dengan peran BI sebagai pemegang kas pemerintah sesuai Pasal 52 UU BI Nomor 23 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang P2SK juncto Pasal 22, serta selaras dengan Pasal 23 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
“Tambahan beban bunga oleh BI tetap konsisten dengan program moneter. Ini untuk menjaga stabilitas perekonomian dan memberi ruang fiskal guna mendorong pertumbuhan ekonomi nasional serta meringankan beban rakyat,” ujar Denny.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga menekankan pentingnya sinergi pemerintah dan BI, sambil memastikan independensi bank sentral tetap terjaga.
“BI tetap memiliki independensi. Jadi ini penting untuk beberapa program sosial, termasuk perumahan,” kata Sri Mulyani.
Publik Khawatir Inflasi
Meski demikian, langkah BI membeli SBN menuai kekhawatiran publik. Sebagian masyarakat khawatir kebijakan ini akan memicu inflasi bila dilakukan dengan pencetakan uang baru.
Diskusi ini juga ramai di media sosial X, setelah akun @saiful_mujani mengunggah berita berjudul Sepakat Cetak Duit Demi Pembiayaan Asta Cita.
“Duh Presiden paham nggak sih dengan inflasi-deflasi, ekonomi makro-ekonomi mikro, kebijakan moneter-kebijakan fiskal,” tulis akun @Phaja_GhaLadiha.
Akun @theWONGSO juga menyampaikan kekhawatirannya. “Nekat, kalau kebanyakan bisa-bisa terjadi inflasi bahkan hiperinflasi, rakyat akan jatuh miskin karena nilai uang yang ditabung makin tergerus,” tulisnya.
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menilai strategi BI kali ini kemungkinan memanfaatkan kas yang tersedia terlebih dahulu. Namun, opsi pencetakan uang baru tetap terbuka bila likuiditas BI tidak mencukupi.
“BI membeli SBN dengan kas yang ada sehingga likuiditas di masyarakat bisa terjaga. Tapi bisa jadi opsi cetak uang baru digunakan setelah kas BI habis,” ujar Huda.
Sementara itu, Staf Ekonomi Bank Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, berpendapat BI sebaiknya tidak perlu mencetak uang baru.
“Kalau likuiditas BI tidak mencukupi, baru bisa dikatakan mencetak uang baru. Tapi kalau likuiditas masih berlimpah ya tidak masalah. Apalagi sekarang cadangan devisa kita juga cukup besar,” kata Myrdal.
