Penumpang Pesawat dari Singapura Akan Kena Biaya Bahan Bakar Hijau Rp 698 Ribu
Penumpang pesawat yang berangkat dari Singapura akan mulai membayar biaya bahan bakar hijau (green fuel levy) hingga S$41,60 atau sekitar Rp698 ribu per orang mulai tahun depan. Kebijakan ini merupakan langkah penting pemerintah Singapura untuk menekan emisi dari sektor penerbangan.
Menurut Otoritas Penerbangan Sipil Singapura (CAAS), pungutan tersebut akan berlaku untuk tiket yang dijual mulai 1 April 2026 dan diterapkan pada penerbangan yang berangkat dari Singapura mulai 1 Oktober 2026.
“Dana yang terkumpul akan digunakan untuk pembelian bahan bakar penerbangan berkelanjutan (Sustainable Aviation Fuel/SAF) secara terpusat,” kata CAAS dikutip dari South China Morning Post, Senin (10/11).
Besaran pungutan berbeda tergantung kelas dan jarak penerbangan. Penumpang kelas ekonomi dan premium ekonomi akan dikenai tambahan biaya mulai dari S$1 (sekitar Rp16.725) untuk penerbangan ke Asia Tenggara hingga S$10,40 (sekitar Rp174 ribu) untuk penerbangan ke Amerika.
Sementara itu, penumpang kelas bisnis dan pertama akan membayar empat kali lipat lebih mahal. Penumpang transit tidak dikenai biaya tambahan, sedangkan penerbangan kargo akan dibebani tarif berdasarkan berat muatan.
Negara Pertama Pungut Biaya Khusus
Singapura menjadi negara pertama di dunia yang memungut biaya khusus dari penumpang untuk mendukung penggunaan bahan bakar ramah lingkungan di sektor aviasi. Langkah ini dinilai strategis mengingat Bandara Changi tengah mencatat lonjakan jumlah penumpang dan berpotensi melampaui rekor 68,3 juta penumpang pada 2019.
CAAS menargetkan penggunaan SAF di Singapura mencapai 3–5 persen dari total konsumsi bahan bakar penerbangan pada 2030. Bahan bakar tersebut umumnya dibuat dari minyak jelantah atau limbah pertanian dan dapat menekan emisi karbon secara signifikan dibanding bahan bakar jet konvensional.
Meski sektor penerbangan hanya menyumbang sekitar 1,2% emisi gas rumah kaca global menurut data Komisi Eropa, meningkatnya permintaan perjalanan udara serta mahal dan terbatasnya pasokan SAF menjadi tantangan besar bagi upaya dekarbonisasi industri ini.
Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) mencatat, meski produksi SAF dua kali lipat meningkat tahun lalu, jumlahnya baru mencapai 0,3 persen dari total volume bahan bakar jet dunia.
Kebijakan ini diumumkan bersamaan dengan Konferensi Iklim COP30 di Brasil, di mana hampir 200 negara membahas langkah-langkah teknis untuk mempercepat pengurangan emisi global.
Meski sempat dikhawatirkan akan lebih mahal, besaran pungutan ini ternyata lebih rendah dari perkiraan awal pemerintah yang sebelumnya dipatok antara S$3 hingga S$16 per penumpang. Penurunan harga SAF di pasar global membuat tarif akhirnya lebih ringan bagi konsumen.
