MUI Terbitkan Faktwa Baru: Pajak Bumi dan Bangunan Tak Layak Dipungut Pemerintah
Komisi A Musyawarah Nasional (Munas) XI Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan lima fatwa. Salah satunya mengenai pajak bumi dan bangunan (PBB) yang berkeadilan.
Dengan adanya fatwa ini, Ketua Komisi Fatwa SC Munas XI MUI KH Asrorun Ni'am Sholeh menegaskan bumi dan bangunan yang dihuni tak layak dikenakan pajak berulang. Asrorun yang juga merupakan Ketua MUI Bidang Fatwa ini menambahkan fatwa pajak berkeadilan ditetapkan sebagai tanggapan hukum Islam.
Khususnya tentang masalah sosial yang muncul akibat adanya kenaikan pajak bumi dan banguna (PBB) yang dinilai tidak adil. "Sehingga meresahkan masyarakat. Fatwa ini diharapkan jadi solusi untuk perbaikan regulasi," kata Asrorun dalam pernyataan tertulisnya di laman resmi MUI dikutip Senin (24/11).
Lebih lanjut, Guru Besar Bidang Ilmu Fikih UIN Jakarta ini menegaskan objek pajak dikenakan hanya kepada harta yang potensial untuk diproduktifkan. Selain itu juga ditargetkan kepada objek pajak yang merupakan kebutuhan sekunder dan tersier.
"Jadi pungutan pajak terhadap sesuatu yang jadi kebutuhan pokok, seperti sembako, dan rumah serta bumi yang kita huni, itu tidak mencerminkan keadilan serta tujuan pajak," ujar Asrorun.
Dia menjelaskan, pada hakikatnya pajak hanya dikenakan kepada warga negara yang memiliki kemampuan secara finansial. Jika dianalogikan dengan kewajiban zakat, kemampuan finansial secara syariat minimal setara dengan nishab zakat mal yaitu 85 gram emas.
“Ini bisa jadi batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP)," kata Asrorun.
Untuk itu, MUI merekomendasikan pemerintah untuk mewujudkan perpajakan yang berkeadilan dan berpemerataan maka pembebanan pajak seharusnya disesuaikan dengan kemampuan wajib pajak. Oleh karena itu perlu adanya peninjauan kembali terhadap beban perpajakan terutama pajak progresif yang nilainya dirasakan terlalu besar.
Pemerintah juga harus mengoptimalkan pengelolaan sumber-sumber kekayaan negara. Selain itu juga menindak para mafia pajak dalam rangka untuk sebesar-besar untuk kesejahteraan masyarakat.
MUI juga meminta pemerintah dan DPR berkewajiban mengevaluasi berbagai ketentuan perundang-undangan terkait perpajakan yang tidak berkeadilan. Selain itu juga menjadikan fatwa ini sebagai pedoman.
Tak hanya itu, MUI juga merekomendasikan Kemendagri dan pemerintah daerah mengevaluasi aturan mengenai pajak bumi dan bangunan, pajak pertambahan nilai (PPn), pajak penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan(PBB), Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), dan pajak waris. MUI menilai semua pajak ini seringkali dinaikkan hanya untuk menaikkan pendapatan daerah tanpa mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat
Pemerintah juga wajib mengelola pajak dengan amanah dan menjadikan fatwa ini sebagai pedoman. MUI juga menekankan masyarakat perlu mentaati pembayaran pajak yang diwajibkan oleh pemerintah jika digunakan untuk kepentingan kemaslahatan umum.
Berikut ketentuan hukum fatwa pajak berkeadilan MUI:
1. Negara wajib dan bertanggung jawab mengelola dan memanfaatkan seluruh kekayaan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2. Dalam hal kekayaan negara tidak cukup untuk membiayai kebutuhan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat maka negara boleh memungut pajak dari rakyat dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pajak penghasilan hanya dikenakan kepada warga negara yang memiliki kemampuan secara finansial yang secara syariat minimal setara dengan nishab zakat mal yaitu 85 gram emas.
b. Objek pajak dikenakan hanya kepada harta yang potensial untuk diproduktifkan dan / atau merupakan kebutuhan sekunder dan tersier(hajiyat dan tahsiniyat).
c. Pajak digunakan untuk kepentingan masyarakat yang membutuhkan dan kepentingan publik secara luas.
d. Penetapan pajak harus berdasar pada prinsip keadilan.
e. Pengelolaan pajak harus amanah dan transparan serta berorientasi pada kemaslahatan umum (‘ammah).
3. Pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak, secara syar’i merupakan milik rakyat yang pengelolaannya diamanahkan kepada pemerintah (ulil amri), oleh karena itu pemerintah wajib mengelola harta pajak dengan prinsip amanah yaitu jujur, profesional, transparan, akuntabel dan berkeadilan.
4. Barang yang menjadi kebutuhan primer masyarakat (dharuriyat) tidak boleh dibebani pajak secara berulang atau double tax.
5. Barang konsumtif yang merupakan kebutuhan primer, khususnya sembako (sembilan bahan pokok), tidak boleh dibebani pajak.
6. Bumi dan bangunan yang dihuni (non komersial) tidak boleh dikenakan pajak berulang.
7. Warga negara wajib ?menaati aturan pajak yang ditetapkan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 2 dan 3.
8. Pemungutan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 2 dan 3 hukumnya haram.
9. Zakat yang sudah dibayarkan oleh umat Islam menjadi pengurang kewajiban pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan angka 2 dan 3, (zakat sebagai pengurang pajak).
