Pertumbuhan Ekonomi RI 2026 Berpotensi Lebih Buruk dari 2025, Ini Penyebabnya
Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi RI pada 2026 hanya akan berada di kisaran 4,9% hingga 5,1%. Angka ini di bawah target pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 yang dipatok 5,4%.
“Proyeksi ini memberikan gambaran bahwa perekonomian Indonesia pada 2026 tidak akan mengalami akselerasi pertumbuhan meski relatif resilien,” kata Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal melalui laman resmi CORE Indonesia, Rabu (26/11).
Faisal mengatakan pada 2026 belum muncul sinyal optimistis akan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ia menilai kondisinya bahkan mungkin lebih buruk dibandingkan 2025.
Ada beberapa hal yang menjadi faktor penyebab akselerasi pertumbuhan ekonomi pada 2026 masih terhambat. Salah satunya potensi net ekspor yang akan turun setelah dikurangi impor.
Faisal menjelaskan, angka net ekspor yang berpotensi menurun berpotensi menekan ekonomi RI, meski kemungkinan ada kenaikan belanja pemerintah, konsumsi rumah tangga, dan investasi.
“Tapi, karena kenaikannya marginal, ini kemungkinan tidak bisa menggantikan sempitnya net ekspor,” ujarnya.
Kondisi itu tampak dari indikator utama, seperti konsumsi rumah tangga dan investasi diperkirakan tidak lebih baik dari tahun 2025. Dari sisi konsumsi, misalnya, pertumbuhan kredit konsumsi terus melemah sepanjang Februari hingga Oktober 2025.
“Hal ini terlihat pada Februari 2025 pertumbuhan kredit konsumsi tumbuh 10,2%, sementara pada Oktober melemah di level 6,9% secara tahunan,” kata Faisal.
Konsumsi Kelas Menengah Belum Pulih
Konsumsi kelas menengah juga masih menjadi sorotan. Faisal mengatakan, beberapa indikator konsumsi kelas menengah juga belum menunjukkan pemulihan.
“Ini (contohnya) seperti terkontraksinya penjualan rumah sedang dan besar, masing-masing minus 12% dan minus 23% pada triwulan III 2025,” ujarnya.
CORE juga mencatat penjualan kendaraan roda empat juga masih terkontraksi 17,4% pada kuartal III 2025. Selain dua indikator konsumsi tersebut, jumlah penumpang pesawat terbang juga masih terkontraksi. Bahkan semakin dalam meski pemerintah telah menggelontorkan beberapa stimulus.
“Per September 2025, pertumbuhan penumpang pesawat terbang masih terkontraksi 11% secara tahunan,” tulis CORE dalam Laporan Economic Outlook 2026.
Modal Asing Berpotensi Merosot
Dari sisi investasi, masuknya modal asing diperkirakan merosot pada 2025. Kondisi ini berpotensi berlanjut pada 2026 jika tidak ada perubahan kebijakan yang mampu memulihkan kepercayaan investor.
Faisal menjelaskan, sepanjang kuartal I hingga kuartal III 2025, pertumbuhan investasi asing minus 1%. sementara investasi domestik meningkat 30%.
Meski demikian, Faisal mengatakan Indonesia tetap bisa tumbuh. Hal ini jika pemerintah mendorong industrialisasi sebagai basis untuk menciptakan lompatan pertumbuhan ekonomi.
“Hal ini sekaligus menjadi solusi atas kondisi Indonesia yang sudah terlalu lama terjebak dalam stagnasi pertumbuhan di level 5%,” ujar Faisal.
Industrialisasi dan Stabilitas Politik jadi Kunci
Pendiri CORE Indonesia sekaligus ekonom senior Hendri Saparini mengatakan saat ini Indonesia memiliki pekerjaan rumah yang cukup besar. Hendri menilai pertumbuhan ekonomi yang rendah berlangsung cukup lama, bahkan cenderung melambat.
Berkaca dari negara lain, Hendri mengatakan lompatan ekonomi itu terjadi jika perekonomian digenjot aktivitas industri manufaktur. Untuk itu, industrialisasi adalah kunci jika Indonesia ingin mencapai lompatan pertumbuhan.
“Negara yang bisa melakukan lompatan ekonomi seperti Korea Selatan mereka bisa menjaga share industri manufaktur terhadap PDB di level yang sangat tinggi,” ujar Hendri.
Proyeksi ini disampaikan dalam acara yang bertajuk Economic Outlook 2026. Acara tersebut juga dihadiri Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi. Dalam pemaparannya, Burhanuddin mengatakan kunci utama untuk melakukan lompatan ekonomi adalah stabilitas politik dan keamanan.
“Idealnya pemerintah Indonesia mengikuti pendekatan diplomasi yang seimbang. Menjaga hubungan baik untuk semua kekuatan besar, tanpa terjebak dalam blok tertentu,” kata Burhanuddin.

