[Foto] Penjaga Warisan Budaya Tenun Setagen
Seorang wanita paruh baya duduk mengoperasikan alat tenun sederhana yang dibuat dari rakitan kayu. Kedua kakinya bergantian menginjak papan kayu sembari kedua tangannya lincah bergerak menarik benang dan menjepit papan saat mengoperasikan alat tenun bukan mesin.
Sesekali ia menghentikan pekerjaannya untuk mengurai benang yang kusut dengan jari-jarinya yang mulai mengkerut. Di belakangnya, seorang pria paruh baya memutar roda pemintal. Helai demi helai benang terpintal dengan alat tradisional. Mereka itu Jinal Jito Hartono dan istrinya Suharti, pasangan penenun tradisional kain setagen.
Kain tenun setagen adalah kain panjang yang dililitkan ke pinggang sebagai pengunci agar kain atau jarik tidak jatuh. Kain setagen merupakan pelengkap pakaian tradisional yang umumnya dipakai wanita saat berbusana kebaya. Tidak hanya itu, perempuan jawa meyakini penggunaan setagen bermanfaat untuk merampingkan perut dan membentuk postur tubuh yang mirip dengan korset di era modern.
Dalam filosofi jawa, setagen yang bentuknya memanjang disimbolkan seperti usus panjang yang berarti kesabaran. Sama halnya dengan pembuatan setagen itu sendiri yang memerlukan ketekunan dan kesabaran terutama dalam proses pembuatan yang mengandalkan alat tradisional dan tenaga manusia sebagai penggeraknya.
Desa Luwang, Gatak, Sukoharjo merupakan desa sentra penghasil kerajinan setagen yang sudah dikenal sejak dulu. Produksi tenun di desa tersebut pernah memasuki masa kejayaannya. Namun saat ini kawasan sentra penghasil tenun setagen itu hanya menyisakan beberapa perajin dan semuanya telah lanjut usia. Dengan alat tenun rakitan kayu seadanya, para perajin itu setiap hari memproduksi setagen.
Sekitar 1990-an, desa itu menjadi sentra penghasil tenun setagen. Banyak penenun yang menggantungkan hidupnya dari kerajinan itu. Seiring perkembangan zaman, satu per satu para perajin terpaksa menutup usahanya karena terus merugi. Penyebabnya, permintaan semakin berkurang hingga naiknya harga bahan baku benang. Namun harga jual kain tenun setagen cenderung stagnan. Pada akhirnya, kerajinan tenun setagen mulai terpinggirkan.
Salah satu perajin yang masih bertahan adalah keluarga Jinal Jito Haryono itu. Menurutnya, hanya pekerjaan tersebut yang bisa ia lakukan bersama istrinya. Di dalam rumahnya terdapat dua alat tenun tradisional yang Jito dan Suharti. Namun semenjak Jito didiagnosa stroke, ia tidak mampu menjalankan alat tenun itu, dan hanya bisa melakukan pekerjaan ringan seperti memintal benang. Kedua anaknya enggan meneruskan usaha tenun dan memilih bekerja sebagai buruh pabrik.
Minimnya regenerasi penenun di Desa Luwang menjadi masalah bagi para penenun karena mereka memiliki banyak pembeli tetap kain setagen di Solo dan Surabaya. Sebagian penenun memutuskan untuk membeli alat tenun mesin karena sulitnya mencari tenaga penenun kain setagen.
Kondisi itu juga dialami oleh penenun Mbah Marimin. Kelima anaknya enggan meneruskan usaha keluarga. Bagi Mbah Marimin, menenun setagen kini ia anggap sebagai aktivitas olahraga sekaligus caranya menikmati masa tua. Kelima anaknya sudah hidup mandiri termasuk anak terakhir yang mampu ia sekolahkan hingga menjadi sarjana dari usaha tenun setagen.
Jika tidak ada inovasi dan regenerasi, kerajinan tenun setagen di desa itu bisa punah ditelan oleh perkembangan zaman. Suasana kampung yang dulu ramai dengan suara kayu beradu pada alat tenun tradisional akan menjadi hening. Yang tersisa mungkin hanya papan petunjuk di ujung jalan desa yang masih berdiri kokoh. Tanda bahwa desa tersebut dulunya merupakan kawasan sentra penghasil tenun setagen.